Setiap wartawan disarankan untuk membaca buku karya David S.
Broder, seorang wartawan senior Washington
Post pada 1980-an. Catatan Broder dituangkan dalam buku Behind The Front Page, A Candid Look at How
the News is Made yang diterbitkan 1987. Karya itu diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia dengan judul Berita di
Balik Berita, Analisis Mendalam di Belakang Layar Bagaimana Jadinya Laporan
Jurnalistik pada lebih dari 10 tahun berikutnya.
Siapa pun yang membaca karya itu akan mendapatkan gambaran
tentang peraturangan politik untuk duduk di singgasana Gedung Putih dari satu
periode ke periode. Pernik-pernik kampanye hitam dikupas dengan bahasa
jurnalistik yang apik dan mengalir. Broder mengisahkan tentang perjuangan
Senator Edmund D. Muskie ketika menjadi calon presiden Amerika Serikat (AS)
pada 1972. Tuduhan dusta yang dilancarkan penerbit William Loeb membuat Muskie
beraksi di tengah lebatnya hujan salju di Kota New Hampshire, Manchester. Ia
mencoba mencari benang merah atas aksi dramatis Muskie yang sampai mengeluarkan
air mata dalam aksi protes terhadap tudahan Loeb.
Cerita di balik aksi Muskie tak pernah muncul di sejumlah
media cetak dan elektronik di seluruh dunia AS. Hanya aksi dramatis yang
dibesarkan para penerbit dan televisi. Padahal ada fakta yang lebih dramatis di
balik peristiwa itu yang dilihat sebelah mata oleh para wartawan AS, termasuk
Broder sendiri.
Kasus Billy Carter, saudara kandung Presiden AS, yang
disebut-sebut sebagai “billygate” karena terkait dengan Pemerintah Libia
sungguh menyibukkan para wartawan. Persoalannya seolah dibawa pada kasus serupa
seperti Watergate, padahal hanya persoalan Billy yang tidak terang-terangan
menjadi agen Libia. Broder menjelaskan hampir semua orang di Washington Post mengakui Billygate
merupakan suatu kermorostan standar yang selama ini ditetapkan dan
dipertahankan surat kabar.
Manajer Editor Washington
Post Howard Simons dalam pidatonya pada tahun 1974 di Universitas Montana
menjelaskan tindakan pencegahan dalam kisah skandal Watergate. “Ingat, kami
sedang berhubungan dengan sumber-sumber yang harus tetap anonim, dengan dua
wartawan muda, bila bahan beritanya salah bisa menimbulkan bencana besar bagi Washington Post dan profesi kami
(wartawan). Oleh sebab itu, para editor kami menetapkan tiga aturan. Pertama, setiap perangkat fakta yang
penting harus berasal dari sekurang-kurangnya dua sumber yang bebas. Ini
sebagai akibat atas kelalaian kami mendapatkan fakta hanya dari satu sumber
sehingga tak pernah membawa data.
Kedua, kisahnya
harus sudah dibaca dan disetujui oleh paling sedikit seorang editor utama
sebelum dipublikasikan. Beberapa malam, saya dan Ben Bradlee memutuskan untuk
menunda sebuah cerita sampai akhir batas waktu karena kami tidak puas. Ketiga, terbitan Watergate dari terbitan
lain harus diverifikasi secara mandiri oleh wartawan kami sebelum dipublikasikan.”
Broder pun tak lupa menjelaskan tentang kedekatan presiden
dengan para jurnalis yang bekerja di Gedung Putih. Kedekatan emosional antara
wartawan dengan beberapa presiden sering kali dimaknai sebagai hubungan politis
dan hubungan teman baik. Broder menerangkan bagaimana sosok Presiden Eidenhower dan John F. Kennedy.
Hubungan mereka terjalin ketika jumpa pers atau sekadar acara makan malam
bersama. Broder juga mengupas tentang jurnalisme pacuan kuda, keberpihakan dan
dosa media massa, serta nilai-nilai seorang wartawan. (ok)
0 komentar:
Posting Komentar