Sabtu, 13 Desember 2014, saya dan sejumlah wartawan Solopos dan Harian Jogja berdiskusi tentang Jurnalisme Sastrawi dengan wartawan senior Suara Merdeka, TriyantoTriwikromo. Pria kelahiran Salatiga, 15 Desember 1964 tersebut juga dikenal
sebagai sastrawan Indonesia. Anggota staf pengajar Fakultas Sastra Universitas
Diponegoro (Undip) itu sudah menghasilkan banyak karya sastra.
Dalam kuliah singkat itu, para wartawan diajak menikmati
sebuah video berdurasi 23 menit. Gambar bergerak itu berkisah tentang sosok
buruh pemecah batu yang memiliki empat orang anak. Nur, demikian nama ibu single parent yang berjuang hidup demi
masa depan anak-anaknya.
Karakter Nur bukanlah sekadar buruh pemecah batu. Ia juga
menjajakan tubuhnya di Gunung Bolo, sebuah kompleks kuburan Tionghoa yang
terletak di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Setiap malam, Nur harus menempuh
perjalanan ke kompleks prostitusi itu dengan naik bus dan kembali pukul 24.00
WIB dengan naik ojek. Penghasilan menjadi pekerja seks komersial cukup minim.
Ia hanya mendapatkan uang bersih Rp28.000/malam.
Semua itu dilakukan setiap hari. Penghasilan dari buruh
pemecah batu tak cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hasil pemecah batu
baru bisa dinikmati setiap bulan sekali, ketika ada orang yang membelinya.
Pekerjaan sebulan itu hanya bisa menghasilan Rp340.000. Potret Nur bukanlah
sekadar PSK yang dipandang negatif sebagian masyarakat, tetapi juga seorang ibu
yang mendambakan masa depan anak-anaknya. Ia tidak ingin pekerjaan kotor itu
diketahui anak-anaknya.
Ada beberapa wartawan yang meneteskan air mata setelah melihat
film itu. Ada yang mengungkapkan ingin menangis seusai melihat tayangan itu. Dari
kisah itulah, Triyanto membuka diskusi. Dia ingin menunjukkan realitas dunia
dengan video singkat itu. Video itulah gambaran Jurnalisme Sastrawi. “Kisah Nur itu bila ditulis akan memiliki
kekuatan luar biasa. Kisahnya bisa mengacak-acak perasaan pembaca,” kata
Triyanto.
Secara teoretis, Jurnalisme
Sastrawi masih menggunakan rumus 5W1H. Cuma rumus konvensional itu
direpresentasikan pada makna kedua. Who jadi
karakter/penokohan, What artinya
plot/alur, When adalah kronologi, Where menjadi setting, Why menjadi motif, dan How
menjadi narasi. Selama ini pembaca seolah dipaksa untuk patuh pada
keputusan wartawan. Pembaca hanya disuguhi informasi yang flat dan tidak
memberi unsur manusia dalam informasi karena 5W1H masih bersifat konvensional.
Prinsipnya Jurnalisme
Sastrawi itu hanya meminjam unsur-unsur sastra dalam karya jurnalisme.
Untuk mengukur sebuah karya itu fiksi atau karya jurnalisme, maka digunakan
tujuh (7) elemen yang dirumuskan Robert Vare, yakni (1) Fakta, (2)
Konflik, (3) Karakter, (4) Akses, (5) Emosi, (6) Perjalanan Waktu, dan (7)
Unsur Kebaruan.
Triyanto memberi catatan penting yang menjadi perhatian
wartawan dalam membuat Jurnalisme
Sastrawi. Pertama, wartawan
jangan menggunakan bahasa mendayu-dayu, puitis. Kedua, wartawan harus kritis dengan diri sendiri dan skeptis
terhadap fakta yang terjadi. Ketiga, gunakanlah
bahasa sehari-hari. Keempat, wartawan
tidak boleh berasumsi, membuat tafsir sendiri, dan menjustifikasi sebuah fakta
karena karya jurnalistik sebenarnya sebuah forum publik.
0 komentar:
Posting Komentar