Minggu, 14 Desember 2014

Jurnalisme Sastrawi: Sebuah Pemahaman Awal



Sabtu, 13 Desember 2014, saya dan sejumlah wartawan Solopos dan Harian Jogja berdiskusi tentang Jurnalisme Sastrawi dengan wartawan senior Suara Merdeka, TriyantoTriwikromo. Pria kelahiran Salatiga, 15 Desember 1964 tersebut juga dikenal sebagai sastrawan Indonesia. Anggota staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (Undip) itu sudah menghasilkan banyak karya sastra.
Dalam kuliah singkat itu, para wartawan diajak menikmati sebuah video berdurasi 23 menit. Gambar bergerak itu berkisah tentang sosok buruh pemecah batu yang memiliki empat orang anak. Nur, demikian nama ibu single parent yang berjuang hidup demi masa depan anak-anaknya.
Karakter Nur bukanlah sekadar buruh pemecah batu. Ia juga menjajakan tubuhnya di Gunung Bolo, sebuah kompleks kuburan Tionghoa yang terletak di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Setiap malam, Nur harus menempuh perjalanan ke kompleks prostitusi itu dengan naik bus dan kembali pukul 24.00 WIB dengan naik ojek. Penghasilan menjadi pekerja seks komersial cukup minim. Ia hanya mendapatkan uang bersih Rp28.000/malam.
Semua itu dilakukan setiap hari. Penghasilan dari buruh pemecah batu tak cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hasil pemecah batu baru bisa dinikmati setiap bulan sekali, ketika ada orang yang membelinya. Pekerjaan sebulan itu hanya bisa menghasilan Rp340.000. Potret Nur bukanlah sekadar PSK yang dipandang negatif sebagian masyarakat, tetapi juga seorang ibu yang mendambakan masa depan anak-anaknya. Ia tidak ingin pekerjaan kotor itu diketahui anak-anaknya.
Ada beberapa wartawan yang meneteskan air mata setelah melihat film itu. Ada yang mengungkapkan ingin menangis seusai melihat tayangan itu. Dari kisah itulah, Triyanto membuka diskusi. Dia ingin menunjukkan realitas dunia dengan video singkat itu. Video itulah gambaran Jurnalisme Sastrawi. “Kisah Nur itu bila ditulis akan memiliki kekuatan luar biasa. Kisahnya bisa mengacak-acak perasaan pembaca,” kata Triyanto.
Secara teoretis, Jurnalisme Sastrawi masih menggunakan rumus 5W1H. Cuma rumus konvensional itu direpresentasikan pada makna kedua. Who jadi karakter/penokohan, What artinya plot/alur, When adalah kronologi, Where menjadi setting, Why menjadi motif, dan How menjadi narasi. Selama ini pembaca seolah dipaksa untuk patuh pada keputusan wartawan. Pembaca hanya disuguhi informasi yang flat dan tidak memberi unsur manusia dalam informasi karena 5W1H masih bersifat konvensional.
Prinsipnya Jurnalisme Sastrawi itu hanya meminjam unsur-unsur sastra dalam karya jurnalisme. Untuk mengukur sebuah karya itu fiksi atau karya jurnalisme, maka digunakan tujuh (7) elemen yang dirumuskan Robert Vare, yakni (1) Fakta, (2) Konflik, (3) Karakter, (4) Akses, (5) Emosi, (6) Perjalanan Waktu, dan (7) Unsur Kebaruan.

Triyanto memberi catatan penting yang menjadi perhatian wartawan dalam membuat Jurnalisme Sastrawi. Pertama, wartawan jangan menggunakan bahasa mendayu-dayu, puitis. Kedua, wartawan harus kritis dengan diri sendiri dan skeptis terhadap fakta yang terjadi. Ketiga, gunakanlah bahasa sehari-hari. Keempat, wartawan tidak boleh berasumsi, membuat tafsir sendiri, dan menjustifikasi sebuah fakta karena karya jurnalistik sebenarnya sebuah forum publik.

0 komentar:

Posting Komentar