Tulisannya David S. Broder, wartawan senior di Washington Post, tertarik untuk dibahas.
Meskipun tulisan itu dibuatnya pada 1987 silam, tetapi fenomenya masih relevan
dengan kondisi jurnalis di Indonesia. Broder mencoba mendefinisikan kerja sama
para wartawan yang tergabung dalam satu tim kampanye calon presiden Amerika
Serikat (AS) pada 1972 sebagai bentuk jurnalisme pacuan kuda. Definisi itu
didasarkan pada analisis Timothy Crouse, seorang wartawan Rolling Stone, yang kebetulan ikut dalam satu tim tersebut.
David S. Broder |
“Suasana demam ini kira-kira sama antara suasana bus
darmawisata siswa SMA dan suasana dalam pesawat jet yang mengangkut para
penjudi ke Las Vegas. Suasana akrab bercampur takut dengan histeria tingkat rendah. Kalau
terlambat memasukkan berita atau membuat satu kesalahan fakta yang mencolok,
berarti akan kehilangan segalanya.”[1]
Crouse menyebut fenomena tersebut sebagai “gejala buruk”
dengan istilah jurnalisme kelompok. Ia menggambarkan jurnalisme kelompok
sebagai kombinasi perilaku induvidual yang aneh dan menyimpang dengan pemikiran
kelompok yang mencekik dan menghinggapi para wartawan yang sudah terlalu lama
terkurung dalam situasi atau ruang lingkup tertentu—pesawat dan bus yang
membawa para calon presiden.
Ungkapan itu bagi Broder bukanlah khayalan atau rekaan Crouse,
tetapi gejala itu memang terjadi dan sampai pada tingkat tertentu. Banyak
wartawan yang masih suka murung, berbuat aneh-aneh, sembrono, dan diliputi
ketakutan kalau ketinggalan berita. Tapi, Broder dan rekan-rekannya di Washington Post mulai berpikir kreatif
dan inovatif agar terlepas dari jeratan kelompok yang dikisahkan Crouse.
Namun, Broder merasa terjebak dalam kondisi yang mengarah pada jurnalisme klik
di mana sumbernya berasal dari orang dalam.
Roger Mudd |
Tom Brokaw |
Wartawan NBC Roger Mudd dan Tom Brokaw menyebut situasi
tersebut sebagai sifat sumbang perilaku wartawan. Brokaw mencemas hubungan
simbiosis dalam arti luas antara kampanye calon presiden dengan pekerjaan
wartawan. Mudd yang berada di pingggiran tahun 1980 mencoba memposisikan diri
sebagai konsumen berita. Ia meras tidak mengerti dengan separuh informasi yang
disajikan dalam berita malam karena pengeditan yang terlalu ketat dan banyaknya
sisipan potongan stenografis.
Sifat orang dalam atau klik dalam peliputan berita kampanye
memberi penjelasan yang lugas mengapa banyak wartawan kala itu yang terjerat
dalam pertentangan sepele, seperti perdebatan tentang Quemoy dan Matsu pada
1984[2],
wawancara Jimmy Carter dengan Playboy pada
1976[3],
dan komentar “sepak pantat” yang diucapkan George Bush pada 1984. James M.
Perry dari Wall Street Journal pada
1974 pernah ditanya seorang pengulas jurnalisme More tentang alasan melakukan penyimpangan itu. Perry menjawab
semuanya buruk, yakni karena tradisi, kebiasaan, dan kemalasan. Kadang-kadang
editor menghendaki Perry untuk melakukannya dan melihat politik sebagai sebuah
permainan atau perlombaan beberapa politikus yang harus dicatat oleh jurnalis.
Hal itu dilakukan karena mudah dan menyenangkan. Semua aktivitas itulah yang
disimpulkan Broder sebagai Jurnalisme Pacuan Kuda.
Situasi tersebut tak hanya terjadi di Amerika Serikat (AS).
Kondisi itu juga dijumpai di belahan kecil dari Indonesia. Aktivitas para
jurnalis lokal masih menunjukkan gejala seperti yang dicemaskan Crouse, Rudd,
dan Brokaw. Lagi-lagi alasan yang disampaikan Perry masih relevan dengan
kondisi terkini. Kebiasaan, tradisi, atau lebih ektrimnya kemalasan masih
menghinggapi para jurnalis lokal. Padahal tantangan yang dihadapi para wartawan
lokal tidak sekompleks permasalahan yang dihadapi para jurnalis nasional.
Tetapi, perilaku menunggu bola masih sering dijumpai oleh mereka yang bertugas
di instansi pemerintah.
Kondisinya mungkin lebih buruk daripada Jurnalisme Pacuan Kuda yang digambarkan Broder. Meskipun dalam satu kelompok, para wartawan
kampanye di AS itu masih bekerja secara profesional dengan mengandalkan otak
sendiri untuk membuat tulisan, bukan copy
paste atau barter informasi yang jelas-jelas tak sesuai dengan etika
jurnalistik. Persoalan itu menjadi renungan para jurnalis. Dampaknya memang
lebih positif ketika redaksi memberi kewajiban untuk melaporkan budjet
informasi yang akan dilakukan besok. Hal itu menjadi cambuk bagi wartawan untuk
terus berkarya untuk memberikan yang terbaik bagi pembaca, bukan bagi
perusahaannya. Pada intinya, wartawan bekerja bukan untuk perusahaan, tetapi
untuk pembaca. (ok)
[1] Catatatan
Timothy Crouse tentang perjangan kontingen wartawan dalam kampanye calon
presiden AS pada 1972 yang diambil dari karya Broder, 1992, Berita di Balik Berita, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, hlm 270.
[2] Perdebatan
tentang kekuasan politik antara China (Tiongkok) dengan Taiwan tentang tiga
pulau, yakni Penghu, Kinmen (Quemoy) dan Matsu serta beberapa pulau kecil
lainnya. Pulau-pulau itu sebenarnya berada di wilayah kekuasan China.
[3]
Wawancara tersebut dianggap sebagai wawancara paling berkesan dalam sejarah
Majalah Playboy. Dalam sebuah diskusi
pada November 1976, saat itu Jimmy Carter masih menjadi calon presiden AS,
mengatakan, “Saya telah melakukan selingkuh berkali-kali dalam hati.”
Pernyataan Carter dipercaya sebagai komentar jujur yang menerobos kemunafikan
masyarakat pada umumnya.
0 komentar:
Posting Komentar