Sabtu, 18 Oktober 2014

Jurnalisme Pacuan Kuda Masa Kini



Tulisannya David S. Broder, wartawan senior di Washington Post, tertarik untuk dibahas. Meskipun tulisan itu dibuatnya pada 1987 silam, tetapi fenomenya masih relevan dengan kondisi jurnalis di Indonesia. Broder mencoba mendefinisikan kerja sama para wartawan yang tergabung dalam satu tim kampanye calon presiden Amerika Serikat (AS) pada 1972 sebagai bentuk jurnalisme pacuan kuda. Definisi itu didasarkan pada analisis Timothy Crouse, seorang wartawan Rolling Stone, yang kebetulan ikut dalam satu tim tersebut.
David S. Broder

“Suasana demam ini kira-kira sama antara suasana bus darmawisata siswa SMA dan suasana dalam pesawat jet yang mengangkut para penjudi ke Las Vegas. Suasana akrab bercampur takut  dengan histeria tingkat rendah. Kalau terlambat memasukkan berita atau membuat satu kesalahan fakta yang mencolok, berarti akan kehilangan segalanya.”[1]
Crouse menyebut fenomena tersebut sebagai “gejala buruk” dengan istilah jurnalisme kelompok. Ia menggambarkan jurnalisme kelompok sebagai kombinasi perilaku induvidual yang aneh dan menyimpang dengan pemikiran kelompok yang mencekik dan menghinggapi para wartawan yang sudah terlalu lama terkurung dalam situasi atau ruang lingkup tertentu—pesawat dan bus yang membawa para calon presiden.
Ungkapan itu bagi Broder bukanlah khayalan atau rekaan Crouse, tetapi gejala itu memang terjadi dan sampai pada tingkat tertentu. Banyak wartawan yang masih suka murung, berbuat aneh-aneh, sembrono, dan diliputi ketakutan kalau ketinggalan berita. Tapi, Broder dan rekan-rekannya di Washington Post mulai berpikir kreatif dan inovatif agar terlepas dari jeratan kelompok yang dikisahkan Crouse. Namun, Broder merasa terjebak dalam kondisi yang mengarah pada jurnalisme klik di mana sumbernya berasal dari orang dalam.
Roger Mudd

Tom Brokaw

Wartawan NBC Roger Mudd dan Tom Brokaw menyebut situasi tersebut sebagai sifat sumbang perilaku wartawan. Brokaw mencemas hubungan simbiosis dalam arti luas antara kampanye calon presiden dengan pekerjaan wartawan. Mudd yang berada di pingggiran tahun 1980 mencoba memposisikan diri sebagai konsumen berita. Ia meras tidak mengerti dengan separuh informasi yang disajikan dalam berita malam karena pengeditan yang terlalu ketat dan banyaknya sisipan potongan stenografis.
Sifat orang dalam atau klik dalam peliputan berita kampanye memberi penjelasan yang lugas mengapa banyak wartawan kala itu yang terjerat dalam pertentangan sepele, seperti perdebatan tentang Quemoy dan Matsu pada 1984[2], wawancara Jimmy Carter dengan Playboy pada 1976[3], dan komentar “sepak pantat” yang diucapkan George Bush pada 1984. James M. Perry dari Wall Street Journal pada 1974 pernah ditanya seorang pengulas jurnalisme More tentang alasan melakukan penyimpangan itu. Perry menjawab semuanya buruk, yakni karena tradisi, kebiasaan, dan kemalasan. Kadang-kadang editor menghendaki Perry untuk melakukannya dan melihat politik sebagai sebuah permainan atau perlombaan beberapa politikus yang harus dicatat oleh jurnalis. Hal itu dilakukan karena mudah dan menyenangkan. Semua aktivitas itulah yang disimpulkan Broder sebagai Jurnalisme Pacuan Kuda.
Situasi tersebut tak hanya terjadi di Amerika Serikat (AS). Kondisi itu juga dijumpai di belahan kecil dari Indonesia. Aktivitas para jurnalis lokal masih menunjukkan gejala seperti yang dicemaskan Crouse, Rudd, dan Brokaw. Lagi-lagi alasan yang disampaikan Perry masih relevan dengan kondisi terkini. Kebiasaan, tradisi, atau lebih ektrimnya kemalasan masih menghinggapi para jurnalis lokal. Padahal tantangan yang dihadapi para wartawan lokal tidak sekompleks permasalahan yang dihadapi para jurnalis nasional. Tetapi, perilaku menunggu bola masih sering dijumpai oleh mereka yang bertugas di instansi pemerintah.
Kondisinya mungkin lebih buruk daripada Jurnalisme Pacuan Kuda yang digambarkan Broder. Meskipun dalam satu kelompok, para wartawan kampanye di AS itu masih bekerja secara profesional dengan mengandalkan otak sendiri untuk membuat tulisan, bukan copy paste atau barter informasi yang jelas-jelas tak sesuai dengan etika jurnalistik. Persoalan itu menjadi renungan para jurnalis. Dampaknya memang lebih positif ketika redaksi memberi kewajiban untuk melaporkan budjet informasi yang akan dilakukan besok. Hal itu menjadi cambuk bagi wartawan untuk terus berkarya untuk memberikan yang terbaik bagi pembaca, bukan bagi perusahaannya. Pada intinya, wartawan bekerja bukan untuk perusahaan, tetapi untuk pembaca. (ok)



[1] Catatatan Timothy Crouse tentang perjangan kontingen wartawan dalam kampanye calon presiden AS pada 1972 yang diambil dari karya Broder, 1992, Berita di Balik Berita, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm 270.
[2] Perdebatan tentang kekuasan politik antara China (Tiongkok) dengan Taiwan tentang tiga pulau, yakni Penghu, Kinmen (Quemoy) dan Matsu serta beberapa pulau kecil lainnya. Pulau-pulau itu sebenarnya berada di wilayah kekuasan China.
[3] Wawancara tersebut dianggap sebagai wawancara paling berkesan dalam sejarah Majalah Playboy. Dalam sebuah diskusi pada November 1976, saat itu Jimmy Carter masih menjadi calon presiden AS, mengatakan, “Saya telah melakukan selingkuh berkali-kali dalam hati.” Pernyataan Carter dipercaya sebagai komentar jujur yang menerobos kemunafikan masyarakat pada umumnya.

0 komentar:

Posting Komentar