Laku wartawan
dimulai dari sembilan elemen jurnalisme yang dirumuskan Bill Kovach dan Tom
Rosenstiel setelah melakukan diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200
wartawan selama tiga tahun di Amerika Serikat (AS). Dua wartawan senior itu
menempatkan kebenaran sebagai elemen
pertama. Padahal kebenaran yang mana, dipandang dari kacamata apa? Agama,
ideologi dan filsafat memiliki dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum
tentu sama. Kebenaran menurut siapa? Bagaimana dengan bias seorang wartawan
yang berasal dari latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok
etnik, atau agama.
Bill Kovach |
Kebenaran yang
dimasuk Kovach dan Rosenstiel lebih pada kebenaran fungsional, kebenaran yang
membutuhkan prosedur dan proses. Polisi menyelidikan dan menyidik seorang
tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim memutus sebuah perkara juga
berdasarkan kebenaran fungsional. Para guru mengajarkan ilmu sejarah, fisika,
dan biologi di sekolah semua itu berdasar pada kebenaran fungsional. Namun,
semua kebenaran itu tidaklah mutlak, tetapi bisa direvisi, seperti UU bisa
diamandemen, sejarah bisa direvisi, begitu pula dalam jurnalisme juga bisa
direvisi.
Kebenaran
dalam jurnalisme bukan dalam tataran filosofis. Orang bisa memilih rute
tertentu berdasarkan informasi lalu lintas. Kebenaran dalam fakta yang
disampaikan dalam jurnalisme selalu dinamis dan bisa saja terjadi koreksi fakta
pada setiap harinya hingga mendekati kebenaran universal.
Elemen kedua
diterangkan Kovach dan Rosenstiel dengan mengajukan pertanyakan kepada siapa seorang wartawan harus
menempatkan loyalitasnya? Kepada
perusahaan yang memberi gaji bulanan? Kepada pembaca atau masyarakat? Sebuah
survei di AS yang menunjukkan separuh wartawan AS menghabiskan sepertiga waktu
mereka untuk urusan manajemen daripada jurnalisme. Wartawan punya tanggung
jawab yang melampaui kepentingan perusahaannya. Anehnya, tanggung jawab itulah
yang menjai sumber keberhasilan perusahaannya. Artinya, perusahaan yang lebih
mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang hanya
mementingkan bisnisnya.
Tom Rosenstiel |
“...to give
the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or
interests involved (... untuk memberikan ketidakberpihakan berita, tanpa rasa
takut atau mendukung, terlepas dari partai, sekte atau kepentingan yang
terlibat),” tekad Adolph Ochs ketika membeli The New York Times pada 1893.
“Dalam rangka
menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan
materialnya, jika tidakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat,” janji
Eugene Meyer ketika membeli The
Washington Post pada 1933.
Esensi
jurnalisme ketiga adalah disiplin dalam
melakukan verifikasi (objektivitas). Disiplin membuat wartawan mampu
menemukan informasi yang akurat dari desas-desus, gosip, ingatan keliru, dan manipulasi
informasi. Disiplin dalam verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan
hiburan, propaganda, fiksi atau seni. Batas antara fiksi dan jurnalisme harus
jelas. Jurnalisme tidak bisa dicampuri dengan fiksi .
Disiplin dalam
jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut objektivitas. Pada abad 19 tidak mengenal istilah
objektivitas. Wartawan tempo dulu lebih mengunakan istilah realisme. Ide
realisme itu muncul bersamaan dengan terciptanya struktur piramida terbalik.
Pada abad 20, para wartawan khawatir dengan naifnya realisme itu. Pada 1919, Walter
Lippmann menekankan jurnalisme tidak cukup hanya dilaporkan oleh saksi mata
yang tidak terlatik, niat baik dan usaha yang jujur. Inovasi baru pada zaman
itu seperti byline atau kolumnis juga
tidak cukup. Menurut Lippmann, solusinya wartawan harus menguasai semangat ilmu
pengetahuan. “Ada hal yang disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda. Hal itu
adalah keseragaman dalam mengembangkan metode daripada tujuan, keseragaman metode
yang ditarik dari pengalaman di lapangan.”
Bagi Lippmann,
metode jurnalisme itu objektif. Tapi, objektivitas itu bukan tujuan karena
objektivitas merupakan disiplin dalam melakukan verifikasi. Sayangnya,
objektivitas itu diartikan keliru. Objektivitas sering kali digunakan untuk
merujuk pada pemahaman bahwa wartawan seyogyanya objektif. Objektif di mata
Kovach dan Rosenstiel, kebanyak wartawan hanya mendefinisikan liputan berimbang
(balance), tidak berat sebelah (fairness) dan akurat. Tapi berimbang maupun
tidak berat sebelah itu bukan tujuan, melainkan metode. Kebenaran bisa saja
kabur ketika keberimbangan menjadi tujuan. Fair yang dimaksud ditujukan kepada
sumber atau pembaca.
Kovach dan
Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi; (1) jangan menambah atau
mengarang apa pun, (2)jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa maupun
pendengar, (3)bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan
motivasi Anda dalam melakukan reportase, (4) bersandarlah terutama pada hasil
reportase sendiri, dan (5) bersikaplah rendah hati.
Metode yang
lebih kongkrit disebutkan Kovach dan Rosenstiel, yakni
(1)Penyuntingan dilakukan secara
skeptis dengan memunculkan dugaan-dugaan atau banyak gugatan pertanyaan dalam
setiap fakta.
(2)Memeriksa akurasi dengan
membuat pertanyaan checklist.
1. Apakah
lead sudah didukung data-data
penunjang yang cukup?
2. Apakah
sudah ada orang lain yang diminta untuk mengecek ulang, menghubungi atau
menelpon semua nomor telepon, semua alamat, situs web yang ada dalam laporan
tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
3. Apakah
materi background guna memahami
laporan ini sudah lengkap?
4. Apakah
semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak
sudah diberi hak untuk berbicara?
5. Apakah
laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah
satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari
batas yang wajar?
6. Apakah
ada data yang kurang?
7. Apakah
semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang
mengatakannya? Apakah kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?
(3)Jangan berasumsi. Jangan
percaya pada sumber-sumber resmi, melainkan lebih mencari sumber primer.
(4)Pengecekan fakta ala Tom
French yang disebut dengan Tom French’s Colored Pencil, yakni menandati dengan
pencil merah pada fakta-fakta penting dalam berita.
Elemen keempat
tidak lain independensi. Wartawan
boleh mengemukakan pendapatnya hanya dalam kolom opini, bukan berita. Menjadi
netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Imparsialitas bukan dimaksudkan
sebagai objektivitas. Prinsipnya, wartawan harus independen terhadap
orang-orang yang mereka liput. Jadi, Independen lebih penting daripada
netralitas. Ketika wartawan beropini harus didasarkan pada data yang akurat,
verifikasi, dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat.
Elemen kelima
adalah memantau kekuasaan dan menyambung
lidah mereka yang tertindas. Memantau
kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi. Salah satu
pemantauan itu dengan melakukan investigation
reporting, sebuah reportase untuk menunjukkan siapa yang salah, siapa yang
melakukan pelanggaran hukum, siapa yang terdakwa dalam suatu pelanggaran publik
yang sebelumnya dirahasiakan.
Elemen
keenamnya adalah menempatkan jurnalisme
sebagai forum publik. Surat kabar bisa menjadi ruang tamu di mana orang
bisa datang, menyampaikan pendapat, kritik, dan sebagainya. Ketika mereka
bereaksi terhadap laporan tertentu, maka masyarakat pun dipenuhi dengan
komentar. Komentar-komentar ini didengar oleh para politisi, brikorat yang
menjalankan roda pemerintahan. Jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus
dibedakan dengan “jurnalisme semu” yang menggelar depat secara artifisial dengan
tujuan menghibur atau provokasi.
Jurnalisme
semua muncul karena debat yang dibuat bukan berdasarkan fakta-fakta yang
memadai. Biaya talkshow jauh lebih
murah daripada membangun infrastruktur reportase. Jurnalisme semu juga muncul
karena gaya lebih dipentingkan daripada esensi. Jurnalisme semu ini pada
gilirannya membahayakan demokrasi karena mengarah pada isu-isu sempit dan
cenderung terpolarisasi
Elemen
ketujuh, jurnalisme harus memikat
sekaligus relevan. Mungkin bisa meminjam motto Majalah Tempo, jurnalisme itu harus enak dibaca dan perlu. Laporan yang
memikat dianggap sebagai laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh
tokoh selebritas. Tetapi laporan relevan dianggap kering, angka-angka, dan
membosankan. The New Yorker terkenal
bukan karena kartunnya yang lucu, tetapi juga karena laporannya yang panjang
dan serius. Wartawan macam itu biasanya malas, bodoh, bias, dan tidak tahu
bagaimana harus menyajikan jurnalisme bermutu.
Elemen
kedelapan, menjadikan wartawan menyajikan berita yang proporsional dan komprehensif. Dua hal itu memang tak seilmiah
orang membuat peta. Berita mana yang diangkat dan penting, mana yang dijadikan
berita utama, penilaiannya berbeda antara wartawan dan pembaca. Pemilihan
berita juga subjektif.
Setiap
wartawan harus mendengarkan hati nurani. Dari ruang redaksi sampai ruang
direksi, wartawan harus memiliki pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggung jawab sosial. Hal
itu menjadi elemen terakhir jurnalisme yang digagas Kovach dan Rosenstiel. “Setiap
reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri, dan
berdasarkan model itulah dia membangun kariernya,’ kata wartawan televisi Bill
Kurtis dari A & E Network. Ruang
redaksi bukanlah tempat untuk demokrasi, tetapi bisa jadi menjadi ruang
kediktatoran. Orang dipuncak media harus bisa mengambil keputusan untuk
menerbitkan atau memangkas laporan, membiarkan atau mencabut kutipan dalam
sebuah laporan agar media bisa menetapi deadline.
Bob Woodward dari The Washington Post
mengatakan jurnalisme yang paling baik sering kali muncul ketika ia
menentang manajemennya.
Sumber: Dikutip dari karya
Andreas Harsono, Agama Saya Adalah
Jurnalisme, Yogyakarta: Kanisius, 2010.
0 komentar:
Posting Komentar