Minggu, 26 Oktober 2014

Laku Wartawan Meniti 9 Elemen Jurnalisme



Laku wartawan dimulai dari sembilan elemen jurnalisme yang dirumuskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel setelah melakukan diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan selama tiga tahun di Amerika Serikat (AS). Dua wartawan senior itu menempatkan kebenaran sebagai elemen pertama. Padahal kebenaran yang mana, dipandang dari kacamata apa? Agama, ideologi dan filsafat memiliki dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu sama. Kebenaran menurut siapa? Bagaimana dengan bias seorang wartawan yang berasal dari latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agama.
Bill Kovach

Kebenaran yang dimasuk Kovach dan Rosenstiel lebih pada kebenaran fungsional, kebenaran yang membutuhkan prosedur dan proses. Polisi menyelidikan dan menyidik seorang tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim memutus sebuah perkara juga berdasarkan kebenaran fungsional. Para guru mengajarkan ilmu sejarah, fisika, dan biologi di sekolah semua itu berdasar pada kebenaran fungsional. Namun, semua kebenaran itu tidaklah mutlak, tetapi bisa direvisi, seperti UU bisa diamandemen, sejarah bisa direvisi, begitu pula dalam jurnalisme juga bisa direvisi.
Kebenaran dalam jurnalisme bukan dalam tataran filosofis. Orang bisa memilih rute tertentu berdasarkan informasi lalu lintas. Kebenaran dalam fakta yang disampaikan dalam jurnalisme selalu dinamis dan bisa saja terjadi koreksi fakta pada setiap harinya hingga mendekati kebenaran universal.
Elemen kedua diterangkan Kovach dan Rosenstiel dengan mengajukan pertanyakan  kepada siapa seorang wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Kepada perusahaan yang memberi gaji bulanan? Kepada pembaca atau masyarakat? Sebuah survei di AS yang menunjukkan separuh wartawan AS menghabiskan sepertiga waktu mereka untuk urusan manajemen daripada jurnalisme. Wartawan punya tanggung jawab yang melampaui kepentingan perusahaannya. Anehnya, tanggung jawab itulah yang menjai sumber keberhasilan perusahaannya. Artinya, perusahaan yang lebih mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang hanya mementingkan bisnisnya.
Tom Rosenstiel

“...to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved (... untuk memberikan ketidakberpihakan berita, tanpa rasa takut atau mendukung, terlepas dari partai, sekte atau kepentingan yang terlibat),” tekad Adolph Ochs ketika membeli The New York Times pada 1893.
“Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tidakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat,” janji Eugene Meyer ketika membeli The Washington Post pada 1933.
Esensi jurnalisme ketiga adalah disiplin dalam melakukan verifikasi (objektivitas). Disiplin membuat wartawan mampu menemukan informasi yang akurat dari desas-desus, gosip, ingatan keliru, dan manipulasi informasi. Disiplin dalam verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni. Batas antara fiksi dan jurnalisme harus jelas. Jurnalisme tidak bisa dicampuri dengan fiksi .
Disiplin dalam jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut objektivitas. Pada abad 19 tidak mengenal istilah objektivitas. Wartawan tempo dulu lebih mengunakan istilah realisme. Ide realisme itu muncul bersamaan dengan terciptanya struktur piramida terbalik. Pada abad 20, para wartawan khawatir dengan naifnya realisme itu. Pada 1919, Walter Lippmann menekankan jurnalisme tidak cukup hanya dilaporkan oleh saksi mata yang tidak terlatik, niat baik dan usaha yang jujur. Inovasi baru pada zaman itu seperti byline atau kolumnis juga tidak cukup. Menurut Lippmann, solusinya wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan. “Ada hal yang disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan metode daripada tujuan, keseragaman metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan.”
Bagi Lippmann, metode jurnalisme itu objektif. Tapi, objektivitas itu bukan tujuan karena objektivitas merupakan disiplin dalam melakukan verifikasi. Sayangnya, objektivitas itu diartikan keliru. Objektivitas sering kali digunakan untuk merujuk pada pemahaman bahwa wartawan seyogyanya objektif. Objektif di mata Kovach dan Rosenstiel, kebanyak wartawan hanya mendefinisikan liputan berimbang (balance), tidak berat sebelah (fairness) dan akurat. Tapi berimbang maupun tidak berat sebelah itu bukan tujuan, melainkan metode. Kebenaran bisa saja kabur ketika keberimbangan menjadi tujuan. Fair yang dimaksud ditujukan kepada sumber atau pembaca.
Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi; (1) jangan menambah atau mengarang apa pun, (2)jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa maupun pendengar, (3)bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase, (4) bersandarlah terutama pada hasil reportase sendiri, dan (5) bersikaplah rendah hati.
Metode yang lebih kongkrit disebutkan Kovach dan Rosenstiel, yakni
(1)Penyuntingan dilakukan secara skeptis dengan memunculkan dugaan-dugaan atau banyak gugatan pertanyaan dalam setiap fakta.
(2)Memeriksa akurasi dengan membuat pertanyaan checklist.
1.       Apakah lead sudah didukung data-data penunjang yang cukup?
2.       Apakah sudah ada orang lain yang diminta untuk mengecek ulang, menghubungi atau menelpon semua nomor telepon, semua alamat, situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
3.       Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
4.       Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk berbicara?
5.       Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?
6.       Apakah ada data yang kurang?
7.       Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?
(3)Jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi, melainkan lebih mencari sumber primer.
(4)Pengecekan fakta ala Tom French yang disebut dengan Tom French’s Colored Pencil, yakni menandati dengan pencil merah pada fakta-fakta penting dalam berita.
Elemen keempat tidak lain independensi. Wartawan boleh mengemukakan pendapatnya hanya dalam kolom opini, bukan berita. Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Imparsialitas bukan dimaksudkan sebagai objektivitas. Prinsipnya, wartawan harus independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Jadi, Independen lebih penting daripada netralitas. Ketika wartawan beropini harus didasarkan pada data yang akurat, verifikasi, dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat.
Elemen kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi. Salah satu pemantauan itu dengan melakukan investigation reporting, sebuah reportase untuk menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, siapa yang terdakwa dalam suatu pelanggaran publik yang sebelumnya dirahasiakan.
Elemen keenamnya adalah menempatkan jurnalisme sebagai forum publik. Surat kabar bisa menjadi ruang tamu di mana orang bisa datang, menyampaikan pendapat, kritik, dan sebagainya. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan tertentu, maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar. Komentar-komentar ini didengar oleh para politisi, brikorat yang menjalankan roda pemerintahan. Jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu” yang menggelar depat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau provokasi.
Jurnalisme semua muncul karena debat yang dibuat bukan berdasarkan fakta-fakta yang memadai. Biaya talkshow jauh lebih murah daripada membangun infrastruktur reportase. Jurnalisme semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan daripada esensi. Jurnalisme semu ini pada gilirannya membahayakan demokrasi karena mengarah pada isu-isu sempit dan cenderung terpolarisasi
Elemen ketujuh, jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Mungkin bisa meminjam motto Majalah Tempo, jurnalisme itu harus enak dibaca dan perlu. Laporan yang memikat dianggap sebagai laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tetapi laporan relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan. The New Yorker terkenal bukan karena kartunnya yang lucu, tetapi juga karena laporannya yang panjang dan serius. Wartawan macam itu biasanya malas, bodoh, bias, dan tidak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme bermutu.
Elemen kedelapan, menjadikan wartawan menyajikan berita yang proporsional dan komprehensif. Dua hal itu memang tak seilmiah orang membuat peta. Berita mana yang diangkat dan penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya berbeda antara wartawan dan pembaca. Pemilihan berita juga subjektif.
Setiap wartawan harus mendengarkan hati nurani. Dari ruang redaksi sampai ruang direksi, wartawan harus memiliki pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggung jawab sosial. Hal itu menjadi elemen terakhir jurnalisme yang digagas Kovach dan Rosenstiel. “Setiap reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri, dan berdasarkan model itulah dia membangun kariernya,’ kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A & E Network. Ruang redaksi bukanlah tempat untuk demokrasi, tetapi bisa jadi menjadi ruang kediktatoran. Orang dipuncak media harus bisa mengambil keputusan untuk menerbitkan atau memangkas laporan, membiarkan atau mencabut kutipan dalam sebuah laporan agar media bisa menetapi deadline. Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan jurnalisme yang paling baik sering kali muncul ketika ia menentang manajemennya.

Sumber: Dikutip dari karya Andreas Harsono, Agama Saya Adalah Jurnalisme, Yogyakarta: Kanisius, 2010.

0 komentar:

Posting Komentar