Sabtu, 20 September 2014

Andalkan Keringat, Tukang Tambal Ban Naik Haji

Suparto beraktivitas membuka ban sepeda motor milik tetangga yang bocor di bengkel depan rumahnya di Bayan Krajan RT 004/RW 020, Kadipiro, Banjarsari, Solo, Kamis, 4 September 2014.


Tri Rahayu
Tujuh unit sepeda angin terjajar di teras rumah tembok sederhana di Kampung Bayan Krajan RT 004/RW 020, Kadipiro, Banjarsari, Solo. Sejumlah peralatan bengkel sepeda terserak tak beraturan. Di tempat itulah, Suparto, 65, bekerja setiap hari sebagai tukang tambal ban. Sebuah bengkel tambal ban yang terletak 300 meter arah selatan dari RSUD Ngipang.
Lelaki lanjut usia itu beraktivitas seperti biasa, Kamis, 4 September 2014 siang. Pantulan panas dari jalan aspal di depan bengkel memaksanya untuk melepas kaus. Kedua tangannya memegang besi pengungkit untuk membuka ban sepeda motor Honda Supra X milik tetangga yang kebetulan bocor. Uban yang menghiasi rambutnya menunjukkan pengalamannya dalam hal jasa tambal ban. Ya, sejak 1997, kakek dari empat cucu itu menggeluti pekerjaannya.
“Alhamdulillah, mari-mari mampir,” ujar Suparto yang mengejutkan saat menyapa Sakimin, 58, warga Jetis RT 003/RW 003, Kadipiro, yang tiba-tiba datang dengan motornya. Suparto tak merasa sungkan menerima tamu dengan bertelanjang dada. Ia masih tetap di tempatnya karena belum berhasil membuka ban.
Sakimin bukan tamu istimewa. Namun, kehadirannya memberi berkah bagi Suparto. Sakimin mengeluarkan plastik hitam berisi piring seng stainless dan sebuah kardus berisi cangkir stainless. Dua buah piring seng dan cangkir diserahkan secara cuma-cuma kepada Suparto. “Saya itu hanya butuh tiga piring, tapi belinya harus setengah lusin. Daripada tidak terpakai, sisanya buat sampeyan saja,” ujar Sakimin.
Calon Haji
Dengan senyum kegembiraan, Suparto menerima hadiah itu sebagai bekal perlengkapan di Tanah Suci. Meskipun hidup pas-pasan, Suparto ternyata menjadi salah satu calon haji (calhaj) kelompok penerbangan (kloter) 55 dari Solo yang akan berangkat pada Minggu, 21 September 2014. Sukimin tidak lain teman calon haji yang juga berangkat tahun ini lewat kloter 56.
Mereka ngobrol cukup lama terkait dengan persiapan ibadah haji. Vaksinasi folio yang belum dilakoni Suparto pun dimintakan pertimbangan kepada Sakimin. Setelah menghabiskan teh hangat yang dihidangkan Tum, 35, menantu Suparto, Sakimin pun pamitan.
Banyak tetangga yang tidak percaya kepada Suparto yang segera berangkat ibadah haji. Kemampuan yang terbatas tidak memungkinkan Suparto mengajak istrinya, Sudarni, 63. Bahkan keluarga dekatnya pun bersilaturahmi hanya untuk memastikan kabar keberangkatannya ke Mekah, Arab Saudi. “Ada saudara yang datang tidak ngandel [percaya]. Berangkat haji itu bantuan atau duite dewe? Hla jawabku, ibadah haji ini karena “bantuan”, yakni bantuan orang-orang yang menambalkan ban sepeda mereka,” celetuknya sembari berkelakar.
Niat menjadi calhaj dimulai Suparto sejak 2010. Seorang tetangga yang sudah mendapat predikat haji menyarankan kepada Suparto agar menyisihkan penghasilannya untuk ibadah haji. Saran tetangga pun direnungkan Suparto dan melahirkan niatan yang kuat. Semula bapak dari dua anak itu menyimpan uang hasil keringatnya Rp5.000/hari. Setiap pekan sekali dimasukkan ke rekening bank lewat bantuan anaknya.
Setelah sekian rupiah terkumpul, Suparto pun berani mendaftar ke tabungan haji di sebuah bank swasta. Sejak itulah komitmennya semakin kuat. Dalam sepekan, Suparto mewajibkan diri sendiri untuk menabung Rp300.000. Mengumpulkan uang sekian bukanlah hal yang mudah.
Tenaganya semakin berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Tahun 2010-2011, Suparto bisa melayani 15-20 pelanggan per hari. Namun dua tahun terakhir, ia hanya bisa melayani maksimal 12 pelanggan per hari. Praktis penghasilan per pekan hanya Rp420.000 dengan asumsi 12 pelanggan kali uang jasa Rp5.000 per sepeda/motor.
“Saya sempat ragu, apa bisa saya berangkat ke Mekah. Akhirnya, saya bisa dengan keyakinan yang kuat kepada Sang Maha Pemurah. Setiap hari, 2.000 kali istigfar saya lakukan dan tidak lupa bertahajud,” jelas lelaki yang dikenal sebagai Ketua RT 004/020 itu.
Setelah empat tahun, niatan Suparto pun terwujud. Tum, yang tinggal serumah dengan Suparto tak mengira bila mertuanya bisa mengumpulkan uang untuk ibadah haji. Ia tidak percaya ketika ayah mertuanya yang berpenghasilan pas-pasan bisa ibadah haji dengan hasil kerja sendiri. “Beberapa kali, Bapak meminta kami untuk menyisihkan rezeki agar bisa ibadah haji. Kami belum bisa karena selalu terdesak dengan kebutuhan lain. Ternyata Bapak bisa,” kata Tum yang setiap hari membuka warung soto di samping bengkel Suparto.

Di akhir wawancara, Suparto menyampaikan niat untuk membiayai ibadah umrah bagi istri tercintanya dengan keringat sendiri. 

*Karya jurnalistik ini dimuat dalam Harian Solopos, Jumat, 5 September 2014.

0 komentar:

Posting Komentar