Suparto beraktivitas membuka ban sepeda motor milik tetangga yang bocor di bengkel depan rumahnya di Bayan Krajan RT 004/RW 020, Kadipiro, Banjarsari, Solo, Kamis, 4 September 2014. |
Tri Rahayu
Tujuh unit sepeda angin terjajar di teras rumah tembok
sederhana di Kampung Bayan Krajan RT 004/RW 020, Kadipiro, Banjarsari, Solo.
Sejumlah peralatan bengkel sepeda terserak tak beraturan. Di tempat itulah,
Suparto, 65, bekerja setiap hari sebagai tukang tambal ban. Sebuah bengkel
tambal ban yang terletak 300 meter arah selatan dari RSUD Ngipang.
Lelaki lanjut usia itu beraktivitas seperti biasa, Kamis, 4 September 2014 siang. Pantulan panas dari jalan aspal di depan bengkel memaksanya
untuk melepas kaus. Kedua tangannya memegang besi pengungkit untuk membuka ban
sepeda motor Honda Supra X milik tetangga yang kebetulan bocor. Uban yang
menghiasi rambutnya menunjukkan pengalamannya dalam hal jasa tambal ban. Ya,
sejak 1997, kakek dari empat cucu itu menggeluti pekerjaannya.
“Alhamdulillah, mari-mari mampir,” ujar Suparto yang
mengejutkan saat menyapa Sakimin, 58, warga Jetis RT 003/RW 003, Kadipiro, yang
tiba-tiba datang dengan motornya. Suparto tak merasa sungkan menerima tamu
dengan bertelanjang dada. Ia masih tetap di tempatnya karena belum berhasil
membuka ban.
Sakimin bukan tamu istimewa. Namun, kehadirannya memberi
berkah bagi Suparto. Sakimin mengeluarkan plastik hitam berisi piring seng stainless dan sebuah kardus berisi
cangkir stainless. Dua buah piring
seng dan cangkir diserahkan secara cuma-cuma kepada Suparto. “Saya itu hanya
butuh tiga piring, tapi belinya harus setengah lusin. Daripada tidak terpakai,
sisanya buat sampeyan saja,” ujar
Sakimin.
Calon Haji
Dengan senyum kegembiraan, Suparto menerima hadiah itu
sebagai bekal perlengkapan di Tanah Suci. Meskipun hidup pas-pasan, Suparto
ternyata menjadi salah satu calon haji (calhaj) kelompok penerbangan (kloter)
55 dari Solo yang akan berangkat pada Minggu, 21 September 2014. Sukimin tidak
lain teman calon haji yang juga berangkat tahun ini lewat kloter 56.
Mereka ngobrol cukup
lama terkait dengan persiapan ibadah haji. Vaksinasi folio yang belum dilakoni
Suparto pun dimintakan pertimbangan kepada Sakimin. Setelah menghabiskan teh
hangat yang dihidangkan Tum, 35, menantu Suparto, Sakimin pun pamitan.
Banyak tetangga yang tidak percaya kepada Suparto yang
segera berangkat ibadah haji. Kemampuan yang terbatas tidak memungkinkan
Suparto mengajak istrinya, Sudarni, 63. Bahkan keluarga dekatnya pun
bersilaturahmi hanya untuk memastikan kabar keberangkatannya ke Mekah, Arab
Saudi. “Ada saudara yang datang tidak ngandel
[percaya]. Berangkat haji itu bantuan atau duite dewe? Hla jawabku, ibadah haji ini karena “bantuan”, yakni
bantuan orang-orang yang menambalkan ban sepeda mereka,” celetuknya sembari
berkelakar.
Niat menjadi calhaj dimulai Suparto sejak 2010. Seorang
tetangga yang sudah mendapat predikat haji menyarankan kepada Suparto agar
menyisihkan penghasilannya untuk ibadah haji. Saran tetangga pun direnungkan
Suparto dan melahirkan niatan yang kuat. Semula bapak dari dua anak itu
menyimpan uang hasil keringatnya Rp5.000/hari. Setiap pekan sekali dimasukkan
ke rekening bank lewat bantuan anaknya.
Setelah sekian rupiah terkumpul, Suparto pun berani
mendaftar ke tabungan haji di sebuah bank swasta. Sejak itulah komitmennya
semakin kuat. Dalam sepekan, Suparto mewajibkan diri sendiri untuk menabung
Rp300.000. Mengumpulkan uang sekian bukanlah hal yang mudah.
Tenaganya semakin berkurang seiring dengan bertambahnya
usia. Tahun 2010-2011, Suparto bisa melayani 15-20 pelanggan per hari. Namun
dua tahun terakhir, ia hanya bisa melayani maksimal 12 pelanggan per hari.
Praktis penghasilan per pekan hanya Rp420.000 dengan asumsi 12 pelanggan kali
uang jasa Rp5.000 per sepeda/motor.
“Saya sempat ragu, apa bisa saya berangkat ke Mekah.
Akhirnya, saya bisa dengan keyakinan yang kuat kepada Sang Maha Pemurah. Setiap
hari, 2.000 kali istigfar saya lakukan dan tidak lupa bertahajud,” jelas lelaki
yang dikenal sebagai Ketua RT 004/020 itu.
Setelah empat tahun, niatan Suparto pun terwujud. Tum, yang
tinggal serumah dengan Suparto tak mengira bila mertuanya bisa mengumpulkan
uang untuk ibadah haji. Ia tidak percaya ketika ayah mertuanya yang
berpenghasilan pas-pasan bisa ibadah haji dengan hasil kerja sendiri. “Beberapa
kali, Bapak meminta kami untuk menyisihkan rezeki agar bisa ibadah haji. Kami
belum bisa karena selalu terdesak dengan kebutuhan lain. Ternyata Bapak bisa,”
kata Tum yang setiap hari membuka warung soto di samping bengkel Suparto.
Di akhir wawancara,
Suparto menyampaikan niat untuk membiayai ibadah umrah bagi istri
tercintanya dengan keringat sendiri.
*Karya jurnalistik ini dimuat dalam Harian Solopos, Jumat, 5 September 2014.
0 komentar:
Posting Komentar