Tri Rahayu
Puluhan cap
batik berbagai motif tua ditata berjajar di meja kecil panjang setingi 30
sentimeter. Cap-cap batik itu sengaja dikumpulkan pemilik merek Batik Mahkota untuk menunjukkan sejarah perjalanan Batik
Mahkota yang lahir 1956. Berbagai
lukisan para pendiri dipajang pada dinding kayu ruang sederhana berlantai kayu
di lantai II milik keluarga Alpha Febela Priyatmono. Bukan hanya itu koleksi
setrika kuno, mesin ketik manual, lemari lawas, hingga tanggalan buatan 1955
dan 1964 juga tersedia.
Alpha sengaja
mendesain ruang berukuran 24 meter persegi itu menjadi sebuah museum pribadi.
Ia menemukan lukisan misterius yang tidak diketahui identitasnya. Lukisan
perempuan bule yang duduk di kursi dengan mengenakan pakaian jarit ala priyayi
Laweyan. Benda-benda lawas itu hanya sebagian kecil koleksi yang baru tertata.
Masih banyak koleksi barang lawas lain di gudang bawah. Semua barang itu
diperoleh dari keluarga.
Museum rumah
milik Alpha merupakan salah satu prototipe museum kawasan yang kini mulai
dikembangkan tiga juragan batik di Kampung Batik Laweyan, Solo. Selain Alpha,
dua juragan batik lainnya ialah Iwan yang biasanya di Batik Puspa Kencana dan Gunawan dari Batik Putra Laweyan. Mereka berdiskusi secara
intensif untuk mematangkan konsep itu.
“Kami masih
mengumpulkan barang-barang yang sudah ada. Barang-barang itu nanti ditata
menjadi museum. Rumah-rumah itu nanti menjadi ruang-ruang dalam museum berskala
kawasan. Rumah-rumah itu juga terhubung antara satu dengan lainnya. Orang bisa
mendapatkan segala informasi tentang rumah itu, mulai sejarahnya, koleksinya,
dan produksinya,” ujar Alpha saat ditemui di kediamannya, Sabtu, 6 September
2014 siang.
Konsep museum
kawasan menjadi alternatif pengembangan pariwisata di Kampung Batik Laweyan
Solo. Alpha yang juga Ketua Forum Kampung Batik Laweyan merasa kesulitan
mencari dan menelusuri artefak-artefak K.H. Samanhoedi. Keterbatasan untuk
mengumpulkan artefak itulah membuat Alpha mencoba mengangkat semangat
Samanhoedi sebagai sebuah konsep museum kawasan.
“Nanti setiap
pintu rumah saudagar batik di Laweyan akan dipasang penjelasan singkat tentang
sejarah K.H. Samanhoedi. Konsepnya ya Laweyan secara keseluruhan wilayah itulah
museumnya dan rumah-rumah yang ada jadi ruang-ruang museum,” tambahnya.
Temuan
terakhir tentang artefak Samanhoedi di Laweyan berupa coretan tangan di dinding
tentang protes Samanhoedi terhadap pemerintahan dan kondisi masyarakat kala
itu. Coretan itu sempat ditemukan salah satu cucu Samanhoedi, Rahmanto Warto
Wiryono, 70, yang tinggal bersebelahan dengan rumah Alpha. Sayang coretan itu
ternyata sudah tertutup cat sehingga tidak bisa dilihat lagi.
Di rumah cukup
besar itu tak hanya dihuni Rahmanto, tetapi juga dihuni dua cucu Samanhoedi
lain dari anak kelima Samanhoedi, yakni Wafiah Citro Hartono. Kedua cucu yang
sudah lanjut usia itu terdiri atas Widarti Priyohartono, 85, dan Widarni
Priyohartono, 81. Masih ada satu cucu lagi yang juga mantan prajurit Tentara
Pelajar yang tinggal di Perumahan Gentan, Sukoharjo, Suprapto.
“Matur sembah nuwun [terima kasih banyak], pemerintah masih nguri-uri [melestarikan] nama eyang Samanhoedi. Selama hidupnya tak
pernah bercerita banyak. Pesannya kepada cucu-cucu pun hanya satu kalau menjadi
pemimpin harus ramah, aja
adigang-adigung, kudu jujur, temen, lan sing sabar [jangan sewenang-wenang,
harus jujur, ulet, dan yang sabar],” ujar Widarti, saat dijumpai, Sabtu.
*Artikel ini dimuat dalam Harian Solopos, Selasa, 9 September 2014
0 komentar:
Posting Komentar