Sabtu, 30 Agustus 2014

Panduan Bagi Jurnalis Pelajar

Istilah jurnalistik sudah sering terdengar di telinga dan terasa tidak asing. Apa jurnalistik itu? Jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau kepenulisan atau media massa itu sendiri. Istilah itu secara harfiyah berasal dari kata “jurnal”, artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day). Asal-muasal kata jurnalistik dari bahasa Yunani Kuno, “du jour” yang berarti hari, yakni kejadian hari ini yang diberitakan dalam lembaran tercetak.
Dilihat dari segi konsepnya, jurnalistik dapat dipahami dengan tiga sudut pandang, yakni proses, teknik, dan Ilmu. Jurnalistik sebagai proses adalah aktivitas mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Aktivitas ini dilakukan oleh wartawan atau jurnalis. Jurnalistik dari sudut pandang teknik ialah keahlian atau keterampilan menulis karya jurnalistik (berita, artikel, feature) termasuk keahlian dalam pengumpulan bahan penulisan, seperti peliputan peristiwa (reportase) dan wawancara. Sedangkan jurnalistik dari sudut pandang ilmu adalah bidang kajian mengenai pembuatan dan penyebarluasan informasi (peristiwa, opini, pemikiran, ide) melalui media massa.
Perkembangan jurnalistik semakin pesat seiring dengan perkembangan teknologi. Namun semakin banyak media massa (cetak, elektronik, online) tidak diiringi dengan jumlah wartawan yang memadai. Padahal banyak universitas atau pergurunan tinggi yang membuka jurusan jurnalistik. Lulusan-lulusan sekolah jurnalistik ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan perusahaan media massa. Atas dasar itulah tidak aneh bila perusahaan media massa merekrut wartawan bukan dari disiplin ilmu jurnalistik atau komunikasi, tetapi dari disiplin ilmu yang bebas. Konsekuensinya perusahan-perusahaan media massa itu harus mendidik ulang calon wartawan mereka.
Wartawan senior Atmakusumah Astraatmadja dari Lembaga Pers Dr Sutomo (LPDS), menyebut jumlah wartawan di Indonesia pada masa Presiden Soeharto hanya sekira 7.000. Mereka mengasuh hampir 300 media cetak, hampir 700 stasiun radio, dan enam stasiun televisi.[1] Sekarang, ketika media cetak jadi sekira 600-700 perusahaan, stasiun radio lebih dari 1.000 perusahaan, dan televisi menjadi 31 stasiun di seluruh Indonesia, paling-paling wartawan bertambah 8.000-10.000. Padahal kebutuhannya banyak sekali. Ledakan stasiun-stasiun televisi di luar Jakarta akan terjadi, mungkin di lebih dari 10 kota besar Indonesia. Siapa yang bakal mengisi kekurangan tenaga-tenaga disana?
Di sisi lain, seorang mahasiswa program doktoral jurusan Bahasa Indonesia Universitas Gajah Mada (UGM) asal Jerman, Thomas Hanitzsh, tengah meneliti pendidikan jurnalisme di empat kota, yakni Surabaya, Medan, Jakarta, dan Yogyakarta. Riset tersebut akan disusun menjadi disertasinya. Riset awal itu sempat dalam Jurnal Mediator terbitan Universitas Islam Bandung tahun 2001, berjudul Rethinking Journalism Education in Indonesia: Nine Theses.[2]
Hanitzsch menilai kurikulum pendidikan jurnalisme tak memadai, bahkan sama sekali tak cukup untuk membuat lulusan sekolah bekerja sebagai wartawan. Mereka tak melatih kecakapan menulis mahasiswa maupun teknik-teknik baru dalam jurnalisme (misalnya, internet, news design, video, audio, film dan sebagainya). Hal ini belum lagi soal industri media yang dominan Jakarta, masih diracuni amplop, komersialisme, sensasionalisme dan aktivisme wartawan serta redakturnya.
Atas dasar itulah, pendidikan jurnalistik sejak dini harus digalakkan, terutama lewat sekolah menengah atas (SMA) dan sejenisnya. Para pelajar yang tertarik dan memiliki bakat menulis bisa diarahkan untuk menjadi jurnalis handal yang siap bekerja di industri-industri media cetak. Mereka bisa melanjutkan studinya dulu di sekolah-sekolah jurnalistik dan tidak terjebak dengan teori-teori yang ada karena sudah memiliki basik dari awal.
Dalam pelatihan singkat ini, saya mencoba menerapkan metode yang digunakan Yayasan Pantau dalam pendidikan jurnalistik. Ada empat materi yang bakal disajikan dalam pertemuan-pertemuan mulai Minggu ini, yakni (1) reportase; (2) penulisan; (3) etika; (4) dinamika ruang redaksi (newsroom). Reportase termasuk teknik wawancara, riset buku, internet, database dan pengamatan di lapangan.

Nilai Berita
Sebelum memulai materi pada reportase terlebih dulu mengetahui beberapa hal yang berkaitan dengan berita. Tidak semua informasi dalam reportase itu bisa dijadikan berita. Untuk mengetahui informasi itu bisa dijadikan berita maka informasi itu harus memenuhi nilai-nilai sebagai berikut;
1.      Objektif (objective)
Informasi berdasarkan fakta, tidak memihak
2.      Aktual (timelines)
Informasi terbaru, belum basi, up to date
3.      Luar biasa (bizarreness)
Informasi yang besar, unik, anek, janggal, tidak umum, nyeleneh, wow
4.      Penting (impact)
Informasi yang berpengaruh atau memiliki dampak bagi khalayak atau publik.
5.      Jarak (proximity)
Informasi yang memperhatikan jarak geografis, kultural, psikologis, perasaan dengan pembaca.
6.      Ketokohan (prominence)
Informasi yang menyangkut orang penting, pejabat, dan seterusnya
7.      Eksklusif (exclusive)
Informasi yang diperoleh secara eksklusif, tersendiri, tidak dimiliki media atau wartawan lain.

Unsur Berita
Untuk menjamin objektivitas, imparsial, dan independensi dalam penyajian informasi, maka sebuah berita harus memiliki unsur-unsur yang kuat dan satu sama lainnya saling melengkapi. Unsur-unsur berita tersebut sebagai berfikut;
1.      Lengkap (clear)
Informasi harus lengkap, jelas, tidak ambigu, tidak ada hal-hal yang disembunyikan, disajikan apa adanya, tidak mengurangi atau menambahi.
2.      Berimbang (balance)
Informasi harus berimbang, tidak berpihak, memberi ruang kepada pihak-pihak terkait. Hal itu sering kali disebut cover both site atau cover all site.
3.      Akurat (acurate)
Informasi harus benar, bukan isu, bukan gosip, bisa dipertanggungjawabkan
4.      Faktual
Informasi itu berupa fakta, peristiwa, kejadian, bukan fiktif.

Semua informasi-informasi tersebut didapatkan dengan teknik reportase, sebuah proses untuk mendapatkan data-data atau fakta-fakta baik berupa lisan atau tertulis dengan metode-metode tertentu, seperti wawancara, observasi (pandangan mata), riset Internet, buku, data base, dan data tertulis lainnya. Dari sekian banyak metode tersebut, metode wawancara membutuhkan keterampilan tersendiri. Wawancara biasanya memiliki teknik khusus, meskipun tidak ada aturan tertentu dalam wawancara.
Metode wawancara minimal bisa menghadailkan informasi dasar dengan mengajukan lima jenis pertanyaan yang dikenal dengan rumus 5W + 1H. Rumus itu terdiri atas what, who, where, when,dan why, plus how. Pertanyaan berikutnya merupakan pengembangan atas pertanyaan dasar tersebut, what next, why next, dan how next. Pengembangan pertanyaan itu akan mendapatkan jawaban yang berlebih tergantung pada wartawan atau si pewawancara. Untuk mendapatkan jawaban berlebih dan kaya dengan informasi tambahan, gunakan kalimat tanya what, why, dan how. Hindari pertanyaan yang hanya mendapatkan jawaban ya atau tidak.

Teknik-Teknik Wawancara
Para wartawan umumnya sependapat, tidak ada kiat mutlak wawancara jurnalistik. Setiap wartawan memiliki trik atau cara tersendiri guna menemui dan memancing narasumber untuk berbicara. Minimal ada tiga tahap dalam teknik wawancara, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan pascawawancara.
1.      Persiapan
a)      Menentukan topik atau masalah
b)      Memahami masalah yang ditanyakan–wawancara yang baik tidak berangkat dengan kepala kosong.
c)      Menyiapkan pertanyaan
d)     Menentukan narasumber
e)      Membuat janji –menghubungi narasumber atau “mengintai” narasumber agar bisa ditemui.
2.      Pelaksanaan Wawancara
a)      Datang tepat waktu –jika ada kesepakatan dengan narasumber.
b)      Perhatikan penampilan –sopan, rapi, atau sesuaikan dengan suasana.
c)      Kenalkan diri –jika perlu tunjukkan ID/Press Card.
d)     Kemukakan maksud kedatangan –sekadar “basa-basi” dan menciptakan keakraban.
e)      Sesuaikan pendekatan dengan narasumber, termasuk di sini cara duduk, cara menyapa, dan cara mengajukan pertanyaan harus disesuaikan dengan etika dan budaya yang dianut oleh nara sumber. Misalnya jangan mengajukan pertanyaan terlalu agresif dengan sumber yang jiwanya sedang tertekan.  Jangan menyapa dengan panggilan “Mas” kalau dia lebih senang disapa “Abang”.
f)       Selalu ingat, tugas wartawan berusaha mendapatkan informasi sebanyak mungkin. Maka jangan tergoda dengan basa basi berlebihan. Kadang wartawan bertemu sumber yang sangat falimiar, mengajak wartawan berbicara mengenai hal lain di luar topik wawancara.
g)      Awali dengan menanyakan biodata narasumber, terutama nama (nama lengkap dan nama panggilan jika ada). Bila perlu, minta narasumber menuliskan namanya sendiri agar tidak terjadi kesalahan.
h)      Mulailah dengan pertanyaan ringan dan menarik perhatian sumber, misalnya tentang kesibukan, hobi, atau  subjek lain yang menarik baginya. Usahakan agar proses komunikasi tidak terlalu formal.
i)        Pertanyaan  tidak   bersifat   “interogatif “ atau terkesan memojokkan.
j)        Carilah kesempatan paling tepat untuk mengajukan pertanyaan yang disiapkan. Usahakan menghapalnya agar tidak bolak-balik melihat daftar pertanyaan.
k)      Jangan terlalu kaku dengan urutan pertanyaan, yang penting semua informasi yang diperlukan bisa didapatkan.
l)        Catat! Jangan terlalu mengandalkan recorder.
m)    Ajukan pertanyaan secara ringkas.
n)      Jadilah pendengar yang baik.Ingat, tugas wartawan menggali informasi, bukan “menggurui” narasumber, apalagi ingin “unjuk gigi” ingin terkesan lebih pintar atau lebih paham dari narasumber.

Semoga bermanfaat dan selamat berdiskusi




[1] Data tersebut dikirimkan kepada wartawan senior dari Yayasan Pantau Andreas Harsono dalam sebuah email dalam suatu mailing list pada awal tahun 2000.
[2] Dikutip dari blog pribadi Andreas Harsono, http://www.andreasharsono.net/2004/06/diskusi-pendidikan-jurnalisme-di-jawa.html.

0 komentar:

Posting Komentar