Aksi Pemilu Damai

Para anggota dan staf Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Solo mengadakan aksi galang tanda tangan untuk mewujudkan pemilu legislatif (Pileg) 2014 yang damai di Hotel Dana, Jl. Slamet Riyadi, Solo, Maret 2014

Pacuan Kuda

Tiga orang remaja memacu kudanya tanpa menggunakan pelana dan pedal dalam lomba pacuan kuda.

David S. Broder

Seorang wartawan Washington Post yang menulis buku berjudul "Berita di Balik Berita" yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan di Jakarta, 1996 lalu.

Roger Mudd

Seorang wartawan senior Amerika Serikat yang malang melintang di dunia jurnalistik sejak tahun 1980-an.

Protes Pendirian Tower

Puluhan warga Mojosongo menggelar aksi unjuk rasa menolak perpanjangan izin operasional tower di Kampung Debegan, Mojosongo, Jebres, Solo, 2013 lalu. Mereka meminta pengelola tower telekomunikasi itu dirobohkan karena izinnya sudah habis.

Minggu, 14 Desember 2014

Jurnalisme Sastrawi: Sebuah Pemahaman Awal



Sabtu, 13 Desember 2014, saya dan sejumlah wartawan Solopos dan Harian Jogja berdiskusi tentang Jurnalisme Sastrawi dengan wartawan senior Suara Merdeka, TriyantoTriwikromo. Pria kelahiran Salatiga, 15 Desember 1964 tersebut juga dikenal sebagai sastrawan Indonesia. Anggota staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (Undip) itu sudah menghasilkan banyak karya sastra.
Dalam kuliah singkat itu, para wartawan diajak menikmati sebuah video berdurasi 23 menit. Gambar bergerak itu berkisah tentang sosok buruh pemecah batu yang memiliki empat orang anak. Nur, demikian nama ibu single parent yang berjuang hidup demi masa depan anak-anaknya.
Karakter Nur bukanlah sekadar buruh pemecah batu. Ia juga menjajakan tubuhnya di Gunung Bolo, sebuah kompleks kuburan Tionghoa yang terletak di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Setiap malam, Nur harus menempuh perjalanan ke kompleks prostitusi itu dengan naik bus dan kembali pukul 24.00 WIB dengan naik ojek. Penghasilan menjadi pekerja seks komersial cukup minim. Ia hanya mendapatkan uang bersih Rp28.000/malam.
Semua itu dilakukan setiap hari. Penghasilan dari buruh pemecah batu tak cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hasil pemecah batu baru bisa dinikmati setiap bulan sekali, ketika ada orang yang membelinya. Pekerjaan sebulan itu hanya bisa menghasilan Rp340.000. Potret Nur bukanlah sekadar PSK yang dipandang negatif sebagian masyarakat, tetapi juga seorang ibu yang mendambakan masa depan anak-anaknya. Ia tidak ingin pekerjaan kotor itu diketahui anak-anaknya.
Ada beberapa wartawan yang meneteskan air mata setelah melihat film itu. Ada yang mengungkapkan ingin menangis seusai melihat tayangan itu. Dari kisah itulah, Triyanto membuka diskusi. Dia ingin menunjukkan realitas dunia dengan video singkat itu. Video itulah gambaran Jurnalisme Sastrawi. “Kisah Nur itu bila ditulis akan memiliki kekuatan luar biasa. Kisahnya bisa mengacak-acak perasaan pembaca,” kata Triyanto.
Secara teoretis, Jurnalisme Sastrawi masih menggunakan rumus 5W1H. Cuma rumus konvensional itu direpresentasikan pada makna kedua. Who jadi karakter/penokohan, What artinya plot/alur, When adalah kronologi, Where menjadi setting, Why menjadi motif, dan How menjadi narasi. Selama ini pembaca seolah dipaksa untuk patuh pada keputusan wartawan. Pembaca hanya disuguhi informasi yang flat dan tidak memberi unsur manusia dalam informasi karena 5W1H masih bersifat konvensional.
Prinsipnya Jurnalisme Sastrawi itu hanya meminjam unsur-unsur sastra dalam karya jurnalisme. Untuk mengukur sebuah karya itu fiksi atau karya jurnalisme, maka digunakan tujuh (7) elemen yang dirumuskan Robert Vare, yakni (1) Fakta, (2) Konflik, (3) Karakter, (4) Akses, (5) Emosi, (6) Perjalanan Waktu, dan (7) Unsur Kebaruan.

Triyanto memberi catatan penting yang menjadi perhatian wartawan dalam membuat Jurnalisme Sastrawi. Pertama, wartawan jangan menggunakan bahasa mendayu-dayu, puitis. Kedua, wartawan harus kritis dengan diri sendiri dan skeptis terhadap fakta yang terjadi. Ketiga, gunakanlah bahasa sehari-hari. Keempat, wartawan tidak boleh berasumsi, membuat tafsir sendiri, dan menjustifikasi sebuah fakta karena karya jurnalistik sebenarnya sebuah forum publik.

Senin, 08 Desember 2014

KOMPENSASI BBM: Pemegang Jamkesmas Pulang Dengan Tangan Hampa

 

Tri Rahayu
Terik matahari yang cukup menyengat tak menyurutkan usaha warga berbondong-bondong datang ke Kantor Pos Besar Gladag, Solo, Sabtu (22/11) siang. Seorang nenek-nenek pun terpaksa menunggu di becak yang diparkir di depan pintu masuk kantor pos yang terletak di Jl. Jenderal Sudirman itu. Perempuan jompo itu harus ikut ke kantor pos untuk mengambil sendiri jatah kompensasi bahan bakar minyak (BBM) senilai Rp400.000 rumah tangga sasaran (RTS) itu.
Ruang depan loket pelayanan kantor pos sudah dipadati ratusan warga. Hari itu, para petugas kantor pos harus melayani pembayaran Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS) bagi 1.190 RTS dari RW 006 hingga RW 023 Kelurahan Semanggi. Warga duduk berjajar sesuai antrean. Pelayanan pembayaran dana PSKS itu dipisahkan dengan pelayanan surat menyurat.
Situasinya agak berbeda di sudut timur laut ruang yang menghadap ke selatan itu. Tampak seorang Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Pasar Kliwon, Asmuni, sibuk meladeni puluhan warga yang antre mengadu. Aduan yang diterima Asmuni membeludak yang didominasi aduan kehilangan Kartu Perlindungan Sosial (KPS).
Di sela-sela pelayanan aduan itu, ada seorang perempuan separuh baya menyela bertanya. M. Primaningsih, demikian nama janda beranak dua itu. Ningsih, sapaan akrabnya, mengeluh kepada TKSK karena tidak menerima KPS pada tahun ini. Ia datang dengan menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (jamkesmas) warna biru muda yang berukuran sama dengan KTP.
“Tahun lalu, saya dapat BLM [bantuan langsung masyarakat], tapi kenapa tahun ini saya tidak dapat? Saya ini janda yang bekerja sebagai buruh pengrajin kok dengan upah tak pasti. Saya kan punya jamkesmas. Ya, lucu, saya malah tidak dapat kartu kuning itu [KPS]. Kartu jamkesmas ini yang saya gunakan untuk mengambil BLM,” keluh warga asal RT 002/RW 016 Semanggi, Pasar Kliwon itu.
Ia hanya bisa pasrah dan rela pulang dengan tangan hampa karena tidak bisa membuktikan namanya masuk dalam database penerima PSKS. Ia kecewa dengan kebijakan pemerintah atas tindakan tidak adil yang diberikan kepadanya. Ia yang merasa sebagai warga miskin ternyata tidak mendapat perlakukan yang sama seperti warga miskin lainnya.
Asmuni tak bisa berbuat banyak. Ia memilih angkat tangan atas keluhan Ningsih. Asmuni hanya melayani warga yang benar-benar bisa menunjukkan KPS asli. Para warga yang mengaku kehilangan KPS pun hanya dilayani dengan memberi rekomendasi, tetapi tidak berani menjamin bisa mencairkan dana PSKS itu.
Beberapa menit berlalu. Tiba-tiba hadir seorang lelaki bertubuh agak pendek dan kurus. Parlan Budiono, 40, demikian nama warga RT 002/RW 023 Semanggi, yang juga datang mengadu ke TKSK Pasar Kliwon. Pedagang mi ayam itu berkisah tentang proses pembagian KPS dari kantor pos beberapa waktu lalu.
“Begini Pak. Beberapa waktu lalu ada petugas kantor pos mencari nama Parlan selama dua hari tidak ketemu karena warga tidak mengetahuinya. Warga, termasuk Pak RT baru tahu kalau nama Parlan yang dicari itu adalah saya. Pak RT dan sejumlah warga meminta saya untuk memohon KPS itu ke kantor pos,” kisah dia.
Parlan menyatakan sebenarnya pihaknya berhak atas KPS berdasarkan informasi dari warga dan ketua RT setempat. Atas dasar itu, Parlan meminta bantuan kepada TKSK untuk mengecek namanya pada database di kantor pos.
“Saya yakin nama saya ada di data itu. Tolong ya Pak! Soalnya ada tetangga yang punya rumah bertingkat dan mobil ternyata masih dapat bantuan siswa miskin. Sedangkan anak saya yang hanya anak pedagang mi ayam keliling tidak dapat bantuan itu” ucap Parlan.
Lagi-lagi, Asmuni tak bisa menjanjikan apa-apa. Ia hanya bisa mencatat nama Parlan dalam buku rekapitulasi aduan PSKS yang nantinya menjadi bahan koodinasi dengan kantor pos.

Kisah Pemulung Tua

Nenek-nenek memungut kertas koran bekas di Pamedan Pura Mangkunegaran Solo seusai Salat Iduladha 2014 lalu. Koran-koran bekas itu dikumpulah selama sebulan, kemudian dijual dengan harga Rp1.000/kg. Pamedan Mangkunegaran menjadi tempat langganan bagi pemulungg tua asal Mojosongo, Solo itu. Biasanya, ia mencari bungkus plastik atau kertas dari bak sampah satu ke bak sampah lainnya pada malam hari. Derita katarak pada salah satu matanya membuat nenek bercucu satu itu harus bekerja di malam hari.

Kisah Bocah Pemulung

Seorang bocah tengah memungut koran bekas di Pamedan Pura Mangkunegaran, Solo, seusai Salat Iduladha 2014 lalu. Bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu membantu neneknya yang juga satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Sejak bayi, anak itu sudah ditinggal kedua orangtuanya karena broken home. Sejak bayi sampai usia SD diasuh oleh neneknya yang hidup sebagai pemulung.