Aksi Pemilu Damai

Para anggota dan staf Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Solo mengadakan aksi galang tanda tangan untuk mewujudkan pemilu legislatif (Pileg) 2014 yang damai di Hotel Dana, Jl. Slamet Riyadi, Solo, Maret 2014

Pacuan Kuda

Tiga orang remaja memacu kudanya tanpa menggunakan pelana dan pedal dalam lomba pacuan kuda.

David S. Broder

Seorang wartawan Washington Post yang menulis buku berjudul "Berita di Balik Berita" yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan di Jakarta, 1996 lalu.

Roger Mudd

Seorang wartawan senior Amerika Serikat yang malang melintang di dunia jurnalistik sejak tahun 1980-an.

Protes Pendirian Tower

Puluhan warga Mojosongo menggelar aksi unjuk rasa menolak perpanjangan izin operasional tower di Kampung Debegan, Mojosongo, Jebres, Solo, 2013 lalu. Mereka meminta pengelola tower telekomunikasi itu dirobohkan karena izinnya sudah habis.

Sabtu, 30 Agustus 2014

Panduan Bagi Jurnalis Pelajar

Istilah jurnalistik sudah sering terdengar di telinga dan terasa tidak asing. Apa jurnalistik itu? Jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau kepenulisan atau media massa itu sendiri. Istilah itu secara harfiyah berasal dari kata “jurnal”, artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day). Asal-muasal kata jurnalistik dari bahasa Yunani Kuno, “du jour” yang berarti hari, yakni kejadian hari ini yang diberitakan dalam lembaran tercetak.
Dilihat dari segi konsepnya, jurnalistik dapat dipahami dengan tiga sudut pandang, yakni proses, teknik, dan Ilmu. Jurnalistik sebagai proses adalah aktivitas mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Aktivitas ini dilakukan oleh wartawan atau jurnalis. Jurnalistik dari sudut pandang teknik ialah keahlian atau keterampilan menulis karya jurnalistik (berita, artikel, feature) termasuk keahlian dalam pengumpulan bahan penulisan, seperti peliputan peristiwa (reportase) dan wawancara. Sedangkan jurnalistik dari sudut pandang ilmu adalah bidang kajian mengenai pembuatan dan penyebarluasan informasi (peristiwa, opini, pemikiran, ide) melalui media massa.
Perkembangan jurnalistik semakin pesat seiring dengan perkembangan teknologi. Namun semakin banyak media massa (cetak, elektronik, online) tidak diiringi dengan jumlah wartawan yang memadai. Padahal banyak universitas atau pergurunan tinggi yang membuka jurusan jurnalistik. Lulusan-lulusan sekolah jurnalistik ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan perusahaan media massa. Atas dasar itulah tidak aneh bila perusahaan media massa merekrut wartawan bukan dari disiplin ilmu jurnalistik atau komunikasi, tetapi dari disiplin ilmu yang bebas. Konsekuensinya perusahan-perusahaan media massa itu harus mendidik ulang calon wartawan mereka.
Wartawan senior Atmakusumah Astraatmadja dari Lembaga Pers Dr Sutomo (LPDS), menyebut jumlah wartawan di Indonesia pada masa Presiden Soeharto hanya sekira 7.000. Mereka mengasuh hampir 300 media cetak, hampir 700 stasiun radio, dan enam stasiun televisi.[1] Sekarang, ketika media cetak jadi sekira 600-700 perusahaan, stasiun radio lebih dari 1.000 perusahaan, dan televisi menjadi 31 stasiun di seluruh Indonesia, paling-paling wartawan bertambah 8.000-10.000. Padahal kebutuhannya banyak sekali. Ledakan stasiun-stasiun televisi di luar Jakarta akan terjadi, mungkin di lebih dari 10 kota besar Indonesia. Siapa yang bakal mengisi kekurangan tenaga-tenaga disana?
Di sisi lain, seorang mahasiswa program doktoral jurusan Bahasa Indonesia Universitas Gajah Mada (UGM) asal Jerman, Thomas Hanitzsh, tengah meneliti pendidikan jurnalisme di empat kota, yakni Surabaya, Medan, Jakarta, dan Yogyakarta. Riset tersebut akan disusun menjadi disertasinya. Riset awal itu sempat dalam Jurnal Mediator terbitan Universitas Islam Bandung tahun 2001, berjudul Rethinking Journalism Education in Indonesia: Nine Theses.[2]
Hanitzsch menilai kurikulum pendidikan jurnalisme tak memadai, bahkan sama sekali tak cukup untuk membuat lulusan sekolah bekerja sebagai wartawan. Mereka tak melatih kecakapan menulis mahasiswa maupun teknik-teknik baru dalam jurnalisme (misalnya, internet, news design, video, audio, film dan sebagainya). Hal ini belum lagi soal industri media yang dominan Jakarta, masih diracuni amplop, komersialisme, sensasionalisme dan aktivisme wartawan serta redakturnya.
Atas dasar itulah, pendidikan jurnalistik sejak dini harus digalakkan, terutama lewat sekolah menengah atas (SMA) dan sejenisnya. Para pelajar yang tertarik dan memiliki bakat menulis bisa diarahkan untuk menjadi jurnalis handal yang siap bekerja di industri-industri media cetak. Mereka bisa melanjutkan studinya dulu di sekolah-sekolah jurnalistik dan tidak terjebak dengan teori-teori yang ada karena sudah memiliki basik dari awal.
Dalam pelatihan singkat ini, saya mencoba menerapkan metode yang digunakan Yayasan Pantau dalam pendidikan jurnalistik. Ada empat materi yang bakal disajikan dalam pertemuan-pertemuan mulai Minggu ini, yakni (1) reportase; (2) penulisan; (3) etika; (4) dinamika ruang redaksi (newsroom). Reportase termasuk teknik wawancara, riset buku, internet, database dan pengamatan di lapangan.

Nilai Berita
Sebelum memulai materi pada reportase terlebih dulu mengetahui beberapa hal yang berkaitan dengan berita. Tidak semua informasi dalam reportase itu bisa dijadikan berita. Untuk mengetahui informasi itu bisa dijadikan berita maka informasi itu harus memenuhi nilai-nilai sebagai berikut;
1.      Objektif (objective)
Informasi berdasarkan fakta, tidak memihak
2.      Aktual (timelines)
Informasi terbaru, belum basi, up to date
3.      Luar biasa (bizarreness)
Informasi yang besar, unik, anek, janggal, tidak umum, nyeleneh, wow
4.      Penting (impact)
Informasi yang berpengaruh atau memiliki dampak bagi khalayak atau publik.
5.      Jarak (proximity)
Informasi yang memperhatikan jarak geografis, kultural, psikologis, perasaan dengan pembaca.
6.      Ketokohan (prominence)
Informasi yang menyangkut orang penting, pejabat, dan seterusnya
7.      Eksklusif (exclusive)
Informasi yang diperoleh secara eksklusif, tersendiri, tidak dimiliki media atau wartawan lain.

Unsur Berita
Untuk menjamin objektivitas, imparsial, dan independensi dalam penyajian informasi, maka sebuah berita harus memiliki unsur-unsur yang kuat dan satu sama lainnya saling melengkapi. Unsur-unsur berita tersebut sebagai berfikut;
1.      Lengkap (clear)
Informasi harus lengkap, jelas, tidak ambigu, tidak ada hal-hal yang disembunyikan, disajikan apa adanya, tidak mengurangi atau menambahi.
2.      Berimbang (balance)
Informasi harus berimbang, tidak berpihak, memberi ruang kepada pihak-pihak terkait. Hal itu sering kali disebut cover both site atau cover all site.
3.      Akurat (acurate)
Informasi harus benar, bukan isu, bukan gosip, bisa dipertanggungjawabkan
4.      Faktual
Informasi itu berupa fakta, peristiwa, kejadian, bukan fiktif.

Semua informasi-informasi tersebut didapatkan dengan teknik reportase, sebuah proses untuk mendapatkan data-data atau fakta-fakta baik berupa lisan atau tertulis dengan metode-metode tertentu, seperti wawancara, observasi (pandangan mata), riset Internet, buku, data base, dan data tertulis lainnya. Dari sekian banyak metode tersebut, metode wawancara membutuhkan keterampilan tersendiri. Wawancara biasanya memiliki teknik khusus, meskipun tidak ada aturan tertentu dalam wawancara.
Metode wawancara minimal bisa menghadailkan informasi dasar dengan mengajukan lima jenis pertanyaan yang dikenal dengan rumus 5W + 1H. Rumus itu terdiri atas what, who, where, when,dan why, plus how. Pertanyaan berikutnya merupakan pengembangan atas pertanyaan dasar tersebut, what next, why next, dan how next. Pengembangan pertanyaan itu akan mendapatkan jawaban yang berlebih tergantung pada wartawan atau si pewawancara. Untuk mendapatkan jawaban berlebih dan kaya dengan informasi tambahan, gunakan kalimat tanya what, why, dan how. Hindari pertanyaan yang hanya mendapatkan jawaban ya atau tidak.

Teknik-Teknik Wawancara
Para wartawan umumnya sependapat, tidak ada kiat mutlak wawancara jurnalistik. Setiap wartawan memiliki trik atau cara tersendiri guna menemui dan memancing narasumber untuk berbicara. Minimal ada tiga tahap dalam teknik wawancara, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan pascawawancara.
1.      Persiapan
a)      Menentukan topik atau masalah
b)      Memahami masalah yang ditanyakan–wawancara yang baik tidak berangkat dengan kepala kosong.
c)      Menyiapkan pertanyaan
d)     Menentukan narasumber
e)      Membuat janji –menghubungi narasumber atau “mengintai” narasumber agar bisa ditemui.
2.      Pelaksanaan Wawancara
a)      Datang tepat waktu –jika ada kesepakatan dengan narasumber.
b)      Perhatikan penampilan –sopan, rapi, atau sesuaikan dengan suasana.
c)      Kenalkan diri –jika perlu tunjukkan ID/Press Card.
d)     Kemukakan maksud kedatangan –sekadar “basa-basi” dan menciptakan keakraban.
e)      Sesuaikan pendekatan dengan narasumber, termasuk di sini cara duduk, cara menyapa, dan cara mengajukan pertanyaan harus disesuaikan dengan etika dan budaya yang dianut oleh nara sumber. Misalnya jangan mengajukan pertanyaan terlalu agresif dengan sumber yang jiwanya sedang tertekan.  Jangan menyapa dengan panggilan “Mas” kalau dia lebih senang disapa “Abang”.
f)       Selalu ingat, tugas wartawan berusaha mendapatkan informasi sebanyak mungkin. Maka jangan tergoda dengan basa basi berlebihan. Kadang wartawan bertemu sumber yang sangat falimiar, mengajak wartawan berbicara mengenai hal lain di luar topik wawancara.
g)      Awali dengan menanyakan biodata narasumber, terutama nama (nama lengkap dan nama panggilan jika ada). Bila perlu, minta narasumber menuliskan namanya sendiri agar tidak terjadi kesalahan.
h)      Mulailah dengan pertanyaan ringan dan menarik perhatian sumber, misalnya tentang kesibukan, hobi, atau  subjek lain yang menarik baginya. Usahakan agar proses komunikasi tidak terlalu formal.
i)        Pertanyaan  tidak   bersifat   “interogatif “ atau terkesan memojokkan.
j)        Carilah kesempatan paling tepat untuk mengajukan pertanyaan yang disiapkan. Usahakan menghapalnya agar tidak bolak-balik melihat daftar pertanyaan.
k)      Jangan terlalu kaku dengan urutan pertanyaan, yang penting semua informasi yang diperlukan bisa didapatkan.
l)        Catat! Jangan terlalu mengandalkan recorder.
m)    Ajukan pertanyaan secara ringkas.
n)      Jadilah pendengar yang baik.Ingat, tugas wartawan menggali informasi, bukan “menggurui” narasumber, apalagi ingin “unjuk gigi” ingin terkesan lebih pintar atau lebih paham dari narasumber.

Semoga bermanfaat dan selamat berdiskusi




[1] Data tersebut dikirimkan kepada wartawan senior dari Yayasan Pantau Andreas Harsono dalam sebuah email dalam suatu mailing list pada awal tahun 2000.
[2] Dikutip dari blog pribadi Andreas Harsono, http://www.andreasharsono.net/2004/06/diskusi-pendidikan-jurnalisme-di-jawa.html.

Jumat, 29 Agustus 2014

Apa itu Jurnalisme Data?

Pendahuluan

Apa data jurnalisme? Apa potensi yang dimilikinya? Apa batas-batasnya? Dari mana datangnya? Pada bagian ini kita melihat data apa jurnalisme dan apa yang mungkin berarti untuk organisasi berita. Paul Bradshaw (Birmingham City University) dan Mirko Lorenz (Deutsche Welle) mengatakan sedikit tentang apa yang khas tentang data jurnalisme. Memimpin wartawan Data memberitahu kami mengapa mereka pikir itu adalah penting dan apa contoh favorit mereka. Akhirnya Liliana Bounegru (European Journalism Centre) menempatkan data jurnalisme dalam konteks sejarah yang lebih luas.
Apa yang ada di bab ini?
• Apa itu Data Jurnalisme?
• Mengapa Wartawan Harus Gunakan data
• Mengapa data Jurnalisme Penting?
• Beberapa Contoh Favorit

• data Jurnalisme dalam Perspektif

Apa data jurnalisme ? Saya bisa menjawab , cukup , bahwa itu adalah jurnalisme dilakukan dengan data. Tapi itu tidak banyak membantu .
Kedua 'data' dan ' jurnalisme ' adalah istilah merepotkan . Beberapa orang berpikir 'data' sebagai setiap koleksi angka, kemungkinan besar berkumpul di spreadsheet . 20 tahun yang lalu , itu cukup banyak satu-satunya jenis data yang wartawan ditangani. Tapi kita hidup di dunia digital sekarang , dunia di mana hampir semua hal dapat - dan hampir semuanya - digambarkan dengan angka.
Sejarah karir Anda, 300.000 dokumen rahasia , siapa tahu yang dalam lingkaran teman- teman semua bisa ( dan ) dijelaskan dengan hanya dua angka : nol , dan orang-orang . Foto , video dan audio semua dijelaskan dengan dua nomor yang sama dengan : nol dan yang . Pembunuhan , penyakit , orang politik , korupsi dan kebohongan : nol dan yang .
Apa yang membuat data jurnalisme berbeda ke seluruh jurnalisme ? Mungkin itu adalah kemungkinan-kemungkinan baru yang membuka ketika Anda menggabungkan ' hidung untuk berita ' tradisional dan kemampuan untuk menceritakan sebuah kisah menarik , dengan skala dan jangkauan informasi digital sekarang tersedia .
Dan kemungkinan tersebut bisa datang pada setiap tahap proses wartawan : menggunakan pemrograman untuk mengotomatisasi proses pengumpulan dan penggabungan informasi dari pemerintah daerah , polisi , dan sumber-sumber kemasyarakatan lainnya , seperti Adrian Holovaty lakukan dengan ChicagoCrime dan kemudian EveryBlock .
Atau menggunakan perangkat lunak untuk menemukan hubungan antara ratusan ribu dokumen , seperti The Telegraph lakukan dengan beban anggota parlemen ' .
Data jurnalisme dapat membantu wartawan menceritakan sebuah cerita yang kompleks melalui infografis menarik . Pembicaraan spektakuler Hans Rosling pada visualisasi kemiskinan dunia dengan Gapminder , misalnya , telah menarik jutaan tampilan di seluruh dunia . Dan David McCandless karya populer dalam penyulingan jumlah besar - seperti menempatkan belanja publik dalam konteks, atau polusi yang dihasilkan dan dicegah dengan gunung berapi Islandia - menunjukkan pentingnya desain yang jelas pada Informasi adalah Indah .
Atau dapat membantu menjelaskan bagaimana cerita berhubungan dengan individu , seperti BBC dan Financial Times sekarang secara rutin dengan interactives mereka anggaran ( di mana Anda dapat mengetahui bagaimana anggaran mempengaruhi Anda , daripada ' Joe Public ' ) . Dan itu bisa membuka proses pengumpulan berita itu sendiri , seperti The Guardian melakukannya dengan sukses dalam berbagi data , konteks , dan pertanyaan dengan Datablog mereka .
Data dapat menjadi sumber data jurnalisme , atau dapat menjadi alat dengan mana cerita ini diceritakan - atau bisa keduanya. Seperti sumber manapun , harus diperlakukan dengan skeptisisme , dan seperti alat apapun , kita harus sadar bagaimana hal itu dapat membentuk dan membatasi cerita yang dibuat dengan itu .

Artikel ini diambilkan dari buku Jurnalisme Data yang diedit Jonathan Gray, Liliana Bounegru, dan Lucy Chambers. 

Kamis, 28 Agustus 2014

Mengenal Jurnalistik


Kewartawanan atau jurnalisme (berasal dari kata journal) dalam Wikipedia.org, artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti surat kabar. Journal berasal dari istilah bahasa Latin diurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik.
Di Indonesia, istilah "jurnalistik" dulu dikenal dengan "publisistik". Dua istilah ini tadinya biasa dipertukarkan, hanya berbeda asalnya. Beberapa kampus di Indonesia sempat menggunakannya karena berkiblat kepada Eropa. Seiring waktu, istilah jurnalistik muncul dari Amerika Serikat dan menggantikan publisistik dengan jurnalistik. Publisistik juga digunakan untuk membahas Ilmu Komunikasi.
Kewartawanan dapat dikatakan "coretan pertama dalam sejarah". Meskipun berita seringkali ditulis dalam batas waktu terakhir, tetapi biasanya disunting sebelum diterbitkan.
Para wartawan seringkali berinteraksi dengan sumber yang kadangkala melibatkan konfidensialitas. Banyak pemerintahan Barat menjamin kebebasan dalam pemberitaan (pers).
Aktivitas utama dalam kewartawanan adalah meliput, mengolah, dan menyajikan sebuah informasi dalam bentuk berita kepada khalayak. Selain itu, dapat juga dikatakan sebagai pelaporan kejadian dengan menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana (dalam bahasa Inggris dikenal dengan 5W+1H) dan juga menjelaskan kepentingan dan akibat dari kejadian atau yang sedang hangat (trend). Kewartawanan meliputi beberapa media: korantelevisiradio,majalah dan internet sebagai pendatang baru.

Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.

Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan kewartawanan sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang TimoerBintang BaratJava BodeMedan Prijaji, dan Java Bode terbit.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia RajaTjahajaSinar BaruSinar Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi kewartawanan. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.
Kegiatan kewartawanan diatur dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang dikeluarkan Dewan Pers dan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI
Banyak organisasi kewartawanan