Istilah jurnalistik sudah sering
terdengar di telinga dan terasa tidak asing. Apa jurnalistik itu? Jurnalistik
(journalistic) artinya kewartawanan atau kepenulisan atau media massa itu
sendiri. Istilah itu secara harfiyah berasal dari kata “jurnal”, artinya
laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day). Asal-muasal kata jurnalistik dari
bahasa Yunani Kuno, “du jour” yang berarti
hari, yakni kejadian hari ini yang diberitakan dalam lembaran tercetak.
Dilihat dari segi konsepnya, jurnalistik
dapat dipahami dengan tiga sudut pandang, yakni proses, teknik, dan Ilmu. Jurnalistik sebagai proses
adalah aktivitas mencari, mengolah, menulis, dan
menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Aktivitas ini
dilakukan oleh wartawan atau jurnalis. Jurnalistik dari sudut pandang teknik
ialah keahlian atau keterampilan menulis karya jurnalistik (berita, artikel,
feature) termasuk keahlian dalam pengumpulan bahan penulisan, seperti peliputan
peristiwa (reportase) dan wawancara. Sedangkan jurnalistik dari sudut
pandang ilmu adalah bidang kajian mengenai
pembuatan dan penyebarluasan informasi (peristiwa, opini, pemikiran, ide)
melalui media massa.
Perkembangan jurnalistik semakin
pesat seiring dengan perkembangan teknologi. Namun semakin banyak media massa
(cetak, elektronik, online) tidak
diiringi dengan jumlah wartawan yang memadai. Padahal banyak universitas atau
pergurunan tinggi yang membuka jurusan jurnalistik. Lulusan-lulusan sekolah
jurnalistik ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan perusahaan media massa.
Atas dasar itulah tidak aneh bila perusahaan media massa merekrut wartawan
bukan dari disiplin ilmu jurnalistik atau komunikasi, tetapi dari disiplin ilmu
yang bebas. Konsekuensinya perusahan-perusahaan media massa itu harus mendidik
ulang calon wartawan mereka.
Wartawan senior Atmakusumah Astraatmadja dari Lembaga Pers Dr
Sutomo (LPDS), menyebut jumlah wartawan di Indonesia pada masa Presiden
Soeharto hanya sekira 7.000. Mereka mengasuh hampir 300 media cetak, hampir 700
stasiun radio, dan enam stasiun televisi.
Sekarang, ketika media cetak jadi sekira 600-700 perusahaan, stasiun radio
lebih dari 1.000 perusahaan, dan televisi menjadi 31 stasiun di seluruh
Indonesia, paling-paling wartawan bertambah 8.000-10.000. Padahal kebutuhannya
banyak sekali. Ledakan stasiun-stasiun televisi di luar Jakarta akan terjadi, mungkin
di lebih dari 10 kota besar Indonesia. Siapa yang bakal mengisi kekurangan
tenaga-tenaga disana?
Di sisi lain, seorang mahasiswa program doktoral jurusan
Bahasa Indonesia Universitas Gajah Mada (UGM) asal Jerman, Thomas Hanitzsh,
tengah meneliti pendidikan jurnalisme di empat kota, yakni Surabaya, Medan,
Jakarta, dan Yogyakarta. Riset tersebut akan disusun menjadi disertasinya. Riset
awal itu sempat dalam Jurnal Mediator terbitan
Universitas Islam Bandung tahun 2001, berjudul Rethinking Journalism Education
in Indonesia: Nine Theses.
Hanitzsch menilai kurikulum pendidikan jurnalisme tak
memadai, bahkan sama sekali tak cukup untuk membuat lulusan sekolah bekerja
sebagai wartawan. Mereka tak melatih kecakapan menulis mahasiswa maupun
teknik-teknik baru dalam jurnalisme (misalnya, internet, news design, video,
audio, film dan sebagainya). Hal ini belum lagi soal industri media yang
dominan Jakarta, masih diracuni amplop, komersialisme, sensasionalisme dan
aktivisme wartawan serta redakturnya.
Atas dasar itulah, pendidikan jurnalistik sejak dini harus
digalakkan, terutama lewat sekolah menengah atas (SMA) dan sejenisnya. Para
pelajar yang tertarik dan memiliki bakat menulis bisa diarahkan untuk menjadi
jurnalis handal yang siap bekerja di industri-industri media cetak. Mereka bisa
melanjutkan studinya dulu di sekolah-sekolah jurnalistik dan tidak terjebak
dengan teori-teori yang ada karena sudah memiliki basik dari awal.
Dalam pelatihan singkat ini, saya mencoba menerapkan metode
yang digunakan Yayasan Pantau dalam pendidikan jurnalistik. Ada empat materi
yang bakal disajikan dalam pertemuan-pertemuan mulai Minggu ini, yakni (1)
reportase; (2) penulisan; (3) etika; (4) dinamika ruang redaksi (newsroom). Reportase termasuk teknik wawancara,
riset buku, internet, database dan pengamatan di lapangan.
Nilai Berita
Sebelum memulai materi pada reportase terlebih dulu
mengetahui beberapa hal yang berkaitan dengan berita. Tidak semua informasi
dalam reportase itu bisa dijadikan berita. Untuk mengetahui informasi itu bisa
dijadikan berita maka informasi itu harus memenuhi nilai-nilai sebagai berikut;
1.
Objektif (objective)
|
Informasi berdasarkan fakta, tidak memihak
|
2.
Aktual (timelines)
|
Informasi terbaru, belum basi, up to date
|
3.
Luar biasa (bizarreness)
|
Informasi yang besar, unik, anek, janggal, tidak umum, nyeleneh, wow
|
4.
Penting (impact)
|
Informasi yang berpengaruh atau memiliki dampak bagi
khalayak atau publik.
|
5.
Jarak (proximity)
|
Informasi yang memperhatikan jarak geografis, kultural,
psikologis, perasaan dengan pembaca.
|
6.
Ketokohan (prominence)
|
Informasi yang menyangkut orang penting, pejabat, dan
seterusnya
|
7.
Eksklusif (exclusive)
|
Informasi yang diperoleh secara eksklusif, tersendiri,
tidak dimiliki media atau wartawan lain.
|
Unsur Berita
Untuk menjamin objektivitas, imparsial, dan independensi
dalam penyajian informasi, maka sebuah berita harus memiliki unsur-unsur yang
kuat dan satu sama lainnya saling melengkapi. Unsur-unsur berita tersebut
sebagai berfikut;
1. Lengkap (clear)
|
Informasi harus lengkap, jelas, tidak ambigu, tidak
ada hal-hal yang disembunyikan, disajikan apa adanya, tidak mengurangi atau
menambahi.
|
2. Berimbang (balance)
|
Informasi harus berimbang, tidak berpihak, memberi
ruang kepada pihak-pihak terkait. Hal itu sering kali disebut cover both site atau cover all site.
|
3. Akurat (acurate)
|
Informasi harus benar, bukan isu, bukan gosip, bisa
dipertanggungjawabkan
|
4. Faktual
|
Informasi itu berupa fakta, peristiwa, kejadian,
bukan fiktif.
|
Semua informasi-informasi tersebut didapatkan dengan
teknik reportase, sebuah proses untuk mendapatkan data-data atau fakta-fakta
baik berupa lisan atau tertulis dengan metode-metode tertentu, seperti
wawancara, observasi (pandangan mata), riset Internet, buku, data base, dan data tertulis lainnya.
Dari sekian banyak metode tersebut, metode wawancara membutuhkan keterampilan
tersendiri. Wawancara biasanya memiliki teknik khusus, meskipun tidak ada
aturan tertentu dalam wawancara.
Metode wawancara minimal bisa menghadailkan informasi
dasar dengan mengajukan lima jenis pertanyaan yang dikenal dengan rumus 5W +
1H. Rumus itu terdiri atas what, who,
where, when,dan why, plus how. Pertanyaan berikutnya merupakan
pengembangan atas pertanyaan dasar tersebut, what next, why next, dan how
next. Pengembangan pertanyaan itu akan mendapatkan jawaban yang berlebih
tergantung pada wartawan atau si pewawancara. Untuk mendapatkan jawaban
berlebih dan kaya dengan informasi tambahan, gunakan kalimat tanya what, why, dan how. Hindari pertanyaan yang hanya mendapatkan jawaban ya atau
tidak.
Teknik-Teknik Wawancara
Para wartawan
umumnya sependapat, tidak ada kiat mutlak wawancara jurnalistik. Setiap
wartawan memiliki trik atau cara tersendiri guna menemui dan memancing
narasumber untuk berbicara. Minimal ada tiga tahap dalam teknik wawancara,
yaitu persiapan, pelaksanaan, dan pascawawancara.
1. Persiapan
a)
Menentukan topik atau masalah
b)
Memahami masalah yang ditanyakan–wawancara yang baik tidak berangkat
dengan kepala kosong.
c)
Menyiapkan pertanyaan
d)
Menentukan narasumber
e)
Membuat janji –menghubungi narasumber atau “mengintai” narasumber agar
bisa ditemui.
2. Pelaksanaan
Wawancara
a)
Datang tepat waktu –jika ada kesepakatan dengan narasumber.
b)
Perhatikan penampilan –sopan, rapi, atau sesuaikan dengan suasana.
c) Kenalkan
diri –jika perlu tunjukkan ID/Press Card.
d) Kemukakan maksud kedatangan –sekadar “basa-basi” dan menciptakan keakraban.
e) Sesuaikan pendekatan dengan narasumber, termasuk di sini cara duduk, cara
menyapa, dan cara mengajukan pertanyaan harus disesuaikan dengan etika dan
budaya yang dianut oleh nara sumber. Misalnya jangan mengajukan pertanyaan
terlalu agresif dengan sumber yang jiwanya sedang tertekan. Jangan
menyapa dengan panggilan “Mas” kalau dia lebih senang disapa “Abang”.
f)
Selalu ingat, tugas wartawan berusaha mendapatkan
informasi sebanyak mungkin. Maka jangan tergoda dengan basa basi berlebihan.
Kadang wartawan bertemu sumber yang sangat falimiar, mengajak wartawan
berbicara mengenai hal lain di luar topik wawancara.
g)
Awali dengan menanyakan biodata narasumber, terutama
nama (nama lengkap dan nama panggilan jika ada). Bila perlu, minta narasumber
menuliskan namanya sendiri agar tidak terjadi kesalahan.
h)
Mulailah dengan pertanyaan ringan dan menarik perhatian sumber, misalnya
tentang kesibukan, hobi, atau subjek lain yang menarik baginya. Usahakan
agar proses komunikasi tidak terlalu formal.
i)
Pertanyaan tidak bersifat “interogatif “
atau terkesan memojokkan.
j)
Carilah kesempatan paling tepat untuk mengajukan pertanyaan yang
disiapkan. Usahakan menghapalnya agar tidak bolak-balik melihat daftar
pertanyaan.
k)
Jangan terlalu kaku dengan urutan pertanyaan, yang penting semua
informasi yang diperlukan bisa didapatkan.
l)
Catat! Jangan terlalu mengandalkan recorder.
m)
Ajukan pertanyaan secara ringkas.
n)
Jadilah pendengar yang baik.Ingat, tugas wartawan menggali informasi,
bukan “menggurui” narasumber, apalagi ingin “unjuk gigi” ingin terkesan lebih
pintar atau lebih paham dari narasumber.
Semoga bermanfaat dan selamat berdiskusi